Monday, December 29, 2008

Just Words

Pada satu sesi pelatihan tentang Law Of Attraction di Kolaka Utara, setelah panjang lebar saya uariakan detail masalah Law Of Attraction, seorang peserta training bertanya.

Sebetulnya pertanyaan semacam ini adalah hal yang lazim. Seorang peserta pelatihan bertanya tentang satu atau banyak hal, kemudian sang trainer/presenter memberikan jawaban. Kalau jawaban yang diberikan dirasa belum mengena, maka akan terjadi dialog berkelanjutan.

"Apa bedanya IMPIAN dan CITA_CITA ?" tanya peserta

..........................................................

Setelah menghela nafas dalam-dalam, saya mencoba mengurai jawaban dari pertanyaan tersebut.

Dalam bahasa Inggris, antara impian dan cita-cita tidak dibedakan kosa katanya. Kedua-duanya adalah DREAM. Di kosa kata kita saja yang membedakannya.

Bagi saya, impian dan cita-cita tidak ada bedanya. Keduanya memenuhi ruang memori dalam otak kita. Keduanya akan tetap sekedar memenuhi ruang memori otak kita, sampai ada tindakan nyata dari kita untuk merubahnya menjadi realita yang kita dapatkan. Jadi selama tidak ditindaklanjuti dengan kerja nyata untuk mewujudkannya, maka keduanya tetap dan akan tetap sekedar ada di memori otak kita.

Jadi - masih jawaban lanjut dari saya - sebenarnya tidak begitu penting dan hampir-hampir tidak memberikan manfaat yang akan merubah kehidupan kita menjadi lebih baik ketika kita memperbincangkan perbedaan impian dan cita-cita. Kecuali bahwa kita akan mendapatkan kepuasan secara intelektual. Tidak lebih dari itu.

Friday, December 19, 2008

Sound Of Thunder

Sound Of Thunder adalah judul sebuah film. Saya menontonnya sekilas di tahun 2007. Film ini berkisah tentang kehebatan para ilmuwan yang berhasil menemukan alat perjalanan lorong waktu yang memungkinkan manusia diabad sekarang bisa memasuki era jaman purba. Dan penemuan ini kemudian dikomersialkan dalam wujud Wisata Ke Jaman Purba.

Paket perjalanan wisata ini hanya membolehkan peserta untuk sekedar melihat-lihat saja. Peserta dilarang untuk menaruh atau mengambil apapun di lokasi wisata. Peserta juga tidak diperbolehkan merusah apapun yang dilihatnya.

Alkisah, setelah untuk kesekian kalinya wisata itu berlangsung, secara mengejutkan kondisi bumi ini berubah. Jalanan ramai yang dipenuhi oleh hutan beton gedung pencakar langit, tiba-tiba ditumbuhi pepohonan hijau super besar mirip di belantara hutan. Kehidupan kota menjadi mati. Binatang buas dan liar berlarian ditengah kota siap merusak apapun yang dijumpainya. Semua manusia mengalami katakutan yang sangat. Dan bumi seperti kembali ke jaman purba, ketika tidak ada satupun teknologi modern yg dikasai manusia.

Pihak penyelenggara paket wisata ke jaman purba itu yakin bahwa ada masalah dengan perjalanan di paket wisata tersebut. Investigasipun dilakukan. Dan setelah dilakukan pengamatan secara seksama dari rekaman setiap perjalanan, maka didapati bahwa ada satu edisi perjalanan dimana salah satu pesertanya menginjak seekor capung hingga mati.

Ringkas cerita, kamatian capung tersebut - yg tentunya sebelum adanya perjalanan wisata tersebut maka capung itu hidup dengan normal - telah merubah keseimbangan kehidupan. Hal kecil tersebut karena terjadi beberapa juta tahun yg lalu ternyata telah memberikan akibat yang sungguh dahsyat akibat efek berantai yang ditimbulkannya. Kehidupan ini menjadi sangat berbeda cerita akhirnya, dikarenakan perbedaan peristiwa sejarah yang menyertainya.

Akhirnya, untuk mengembalikan kehidupan sebagaimana sebelumnya, maka dirancanglah sebuah misi perjalanan ke jaman purba dengan dimensi waktu persis sebelum kejadian terinjaknya sang capung. Setiap kejadian yg bisa mengakibatkan terinjaknya capung dihindari. Dan akhirnya, berkat kegigihan para ilmuwan yang ada akhirnya mereka berhasil. Dan kehidupan kembali normal seperti sedia kala. Sebuah akhir yang bahagia, khas film Amerika seperti ingin menyombongkan diri bahwa sesulit apapun kondisinya, tetapi Amerika tetap akan bisa memberikan solusi.

..........................................................

Bagaimana dengan kehidupan kita ?

Begitu juga dengan kehidupan kita. Apa yang kita dapati sekarang, tidak lain adalah buah dari semua tindakan dan perilaku kita di masa yang lalu. Hari ini adalah buah dari perilaku kita di hari kemarin. Dan hari esok adalah buah dari apa yang kita tanam hari ini. Benih yang kita sebar hari ini, itulah buah yang akan kita panen di hari esok.

Keinginan untuk mendapati kehidupan yang baik dimasa depan tentunya harus diawali dari susunan batu bata yang baik di hari ini. Begitu ada kelalaian kita dalam menyusun batu bata sehingga mendapati susunan yang jelek, maka apabila kita biarkan saja tentu akan menghasilkan bangunan masa depan yang rapuh.

Kalau kita masih menginginkan bangunan yang kokoh, kuat dan cantik, maka kita harus mulai menyusun bagian-bagian bangunannya dengan bahan dan susunan terbaik. Kekeliruan yang ada haruslah segera diperbaiki. Karena keterlambatan perbaikan hanya akan menambah ongkos kehidupan menjadi lebih besar. Orang banyak mengatakan bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Akan tetapi kita juga hendaknya meyakini bahwa mengobati selalu tidak akan pernah ketinggalan momentum terbaiknya.

Yang perlu kita yakini adalah bahwa sekaranglah saatnya kita mulai menanam benih yang baik dan menyusun susunan batu bata kehidupan ini dengan kokoh dan cantik, untuk mendapatkan bangunan masa depan dan hasil panen yang terbaik. Seandainya kita dapati ada bagian bangunan yang tidak selaras dan bisa berakibat fatal untuk kebaikan bangunan itu nantinya, maka, hendaknya kita jangan sungkan-sungkan untuk memperbaikinya. Atau merubah total bangunan yang ada dengan yang baru, yang lebih kokoh dan cantik. Sebelum kita menyesali bahwa bangunan kehidupan yang kita berteduh di dalamnya, dipenuhi retakan-retakan menakutkan di sana sini.

Wallahu a'lam



Thursday, December 04, 2008

Bombana, The New Dreamland

Pada 20 November lalu, saya mendapatkan kesempatan melakukan perjalanan ke Kabupaten Kolaka Utara, sekitar 300 km barat laut dari Kendari ibu kota Sulawesi Tenggara.

Insrastruktur jalan yang kurang baik di beberapa ruas jalan Trans Sulawesi antara Kendari dan Kolaka Utara, serta medan berat berbukit banyak jurang berbibirkan pantai terjal bagian barat Sultra dan berliku menjadikan jarak yang kalau di pulau Jawa bisa ditempuh dalam 5 jam itu harus kami tempuh lebih dari 8 jam.


Seorang teman yang menemani perjalanan ini – Pak Dani namanya – menceritakan banyak hal tentang Sulawesi Tenggara kepada saya, mengingat ini adalah perjalanan pertama saya ke wilayah Sultra.


Menurutnya, akhir-akhir ini ada fenomena menarik yang terjadi di Sulawesi Tenggara. Fenomena itu adalah adanya eksodus besar-besaran masyarakat Sultra ke Kabupaten Bombana. Berpuluh bahkan beratus-ratus ribu orang-orang berbondong meninggalkan tempat tinggal dan pekerjaannya pergi menuju tanah impian baru yaitu Bombana.


Pa Dani menceritakan bahwa banyak pabrik-pabrik yang mulai resah karena ditinggal pergi oleh karyawannya menuju Bombana. Bahkan pegawai-pegawai dengan status honorerpun memilih pergi ke Bombana. Konon tidak sedikit juga para abdi negara (PNS) yang memilih cuti demi untuk ikut eksodus ke Bombana.


.....................................................


Ceritanya berawal dari adanya sebuah keluarga di Bombana yang dalam waktu sangat singkat tiba-tiba berubah menjadi sangat kaya, padahal sebelumnya mereka adalah keluarga yang miskin.


Konon mereka adalah pendatang yang sebelumnya tinggal di Timika, dekat penambangan emas Freeport. Setelah tinggal di Bombana, mereka merasa bahwa jenis tanah di Bombana sama dengan dengan tanah di Freeport. Melihat kesamaan alam Bombana dengan Freeport, maka mereka juga yakin bahwa di Bombana ini juga mengandung emas seperti juga di Freeport.


Mulailah kepala keluarga ini masuk ke hutan. Mulailah dia menggali, kemudian mendulangnya di sungai. Dan ternyata benar bayangan mereka, mereka mendapatkan biji-biji emas. Dan akhirnya setiap hari mereka keluar masuk hutan untuk mendulang emas, tetapi apa yang mereka lakukan tidak diketahui oleh masyarakat Bombana yang lainnya.


Dalam waktu sekejap kehidupan pendatang inipun berubah. Rumah mereka diperbaiki sehingga tampak mewah. Mereka membeli mobil dan sejumlah perabot mewah lainnya. Tentu saja perubahan drastis ini memunculkan kecurigaan pada para tetangganya dan memunculkan rasa ingin tahu.


.............................................................


Agaknya ada sebagian tetangganya yang mulai mengamati aktivitas mereka. Ketika hendak masuk hutan untuk mendulang emas, beberapa tetangganyapun mulai mengikuti tanpa sepengetahuan mereka. Sehingga akhirnya para tetangga itupun bisa memahami bagaimana mereka bisa mendapatkan kekayaan, yaitu dengan mendulang emas di hutan.


Setelah itu cerita tentang Bombana yang menyimpan deposit emas besar cepat menyebar ke seantero penjuru Sulawesi, terlebih khusus ke kabupaten lain di propinsi Sulawesi Tenggara. Dan bisa ditebak cerita selanjutnya, ratusan ribu orang berhamburan pergi ke Bombana untuk berburu biji emas.


.................................................................


Eksodus ini mencapai puncaknya pada Ramadhan 1429 lalu tepatnya di bulan September 2008. Barangkali karena didesak oleh pemenuhan kebutuhan lebaran, puluhan ribu orang datang ke Bombana.


Banyak sekali cerita sukses menyertai hiruk pikuk di Bombana. Ada yang dalam 10 hari bisa mendapatkan 20 gr biji emas. 1 gram dijual dengan harga sekitar Rp. 200.000,- an mengingat kualitas emas Bombana yang sangat baik. Sehingga dalam 1 bulan bisa mengantosi sekitar 10jutaan, jauh lebih banyak daripada hanya menjadi buruh dengan gaji 2jutaan dalam sebulan.


Tetapi tidak sedikit juga cerita kelam berbuntut kematian. Berjubelnya orang yang mendulang emas melahirkan tensi emosi tinggi yang sering tidak terkendali. Hanya karena tersenggol oleh pendulang lainnya yang mengakibatkan jatuhnya butiran biji emas yang didapat, seorang pendulang memilih untuk berkelahi yang berujung pada kematian.


Ada juga karena begitu bersemangat dan bernafsunya menggali dan mendulang, mereka tidak peduli lagi dengan keselamatan diri. Pada suatu siang beberapa orang yang menggali hingga ke kedalaman tanah sudah tidak peduli lagi dengan kekuatan struktur tanahnya. Ketika asyik menggali, tiba-tiba galian itupun runtuh dan mengubur beberapa penambang yang ada dibawahnya.


Cerita lain yang tidak kalah serunya adalah melambungnya harga wajan atau alat penggorengan. Wajan yang biasanya dijual dengan harga 50 ribuan rupiah, sekarang melambung menjadi 200 ribuan. Itu semua terjadi karena para pendulang menjadikan wajan sebagai alat untuk mendulang dan memisahkan butiran tanah dengan biji besi. Bisa ditebak, wajan menjadi barang paling dicari orang Sultra saat ini.


Dan mengingat bahwa eksodus besar-besaran ke Bombana ini mulai tidak beraturan, Pemkab Bombanapun akhirnya menerapkan beberapa peraturan daerah. Setiap orang yang masuk ke Bombana untuk mendulang emas harus memiliki surat ijin semacam SIM, tentunya dengan membayar sejumlah rupiah. Ini tentu bisa menjadi pendapatan daerah untuk kemajuan Bombana.


Bersambung ....


Friday, November 14, 2008

I Just Wanna Say I Love You

Seorang teman dengan ekspresi sangat tertekan memendam keterpaksaan akhirnya membuka cerita pedihnya.


“Istri saya sekarang tidak sama dengan yang dulu,” ucapnya pelan memulai pembicaraan.


“Apanya yang tidak sama ?” tanyaku mencoba mengerti lebih jauh.


“Sekarang dia liar. Suka membantah kata-kataku. Sedikit ada perbedaan maka dia marah dan berani membentak. Kalau pergi keluar rumah sering nggak kenal waktu, terkadang jam 9 malam baru pulang. Kalau ditanya dari mana, bawaannya pasti marah-marah,” lanjutnya.


“Tidak jarang kudapati dia marah-marah terus dengan anak-anak tanpa kupahami penyebabnya. Pokoknya kacau dia sekarang,”lanjutnya lagi.


Bisa ditebak, teman yang satu ini membuka peluang perceraian di akhir curhatnya. Baginya itu solusi terbaik mengingat usahanya selama ini untuk mempertahankan biduk rumah tangga dirasakannya sia-sia belaka.


“Sudahlah, kamu pulang dulu ke rumah. Temui anak-anakmu. Kalau kamu ingin cerai boleh saja, tapi jangan sekarang. Nanti aja kalau sudah tenang,” imbuhku sambil menepuk-nepuk pundaknya mencoba menenangkan.


“Besok kalau ada masalah lagi, boleh datang ke sini lagi,” sambungku lagi.


..............................................................


Seminggu berikutnya ......


“Tamat sudah pernikahanku, diapun minta cerai dariku”, ceritanya dengan luapan emosi yang tertahan. Setelah itu diapun terdiam, lama.


“Kamu benar mau bercerai ? kalau ya, ya sudah aku bantu ngurus perceraian,” timpalku memecah keheningan.


Seketika wajahnya terangkat. Pandangannya kosong. Mukanya memerah dan dahinya mengernyit menyiratkan keheranan yang sangat.


“Kok kamu malah mau bantu ngurus perceraian sih ...?”tanyanya kemudian.


“Kan kamu sendiri yang bilang mau cerai. Sebenernya kepengin cerai nggak sih ?”tanyaku lagi.


“Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya nggak pengin. Tapi kelakuannya itu loh yang nggak bisa ditoleransi,”tambahnya lagi.


“Tapi mau bercerai nggak nih jadinya,”tanyaku lagi.


Setelah merenung panjang akhirnya diapun menjawab dengan terbata-bata,”beneran, saya nggak ingin cerai. Walaupun bayangan untuk bercerai selalu hadir menghantuiku,” akunya lagi.


“Kalau memang nggak ingin bercerai maka aku juga mau bantu supaya kamu nggak jadi cerai. Mau nggak?”tanyaku memojokkan yang segera dijawabnya dengan anggukan kepala lesu.


“Kalau gitu tolong jawab pertanyaanku baik-baik,”pintaku lagi.


“Dalam 10 tahun perkawinanmu, sejak kapan kamu merasa ada yang salah dengan pernikahanmu,”tanyaku. “Sejak 2 tahun yang lalu, tepatnya setelah istri saya kerja kantoran,” jawabnya cepat.


“Apa yang membuat kamu berpikir bahwa ada masalah dengan perkawinanmu,”tanyaku lagi.


“Ya itu tadi, istriku mulai bermasalah,”tambahnya.


“Apa saja perilakunya yang kamu anggap bermasalah sampai kamu berpikir untuk bercerai,”tanyaku mencoba menggali lebih dalam lagi.


“Ya seperti yang saya sebutkan tadi. Dan sebenarnya masih banyak lagi yang lain. Tapi sudahlah, disebutin juga Cuma bikin hati lebih ndongkol,” jawabnya cepat.


“Dan dua tahun terakhir ini kamu selalu mengingat-ingat perilaku “buruk” istrimu itu ?”tanyaku.


“Tentu lah, karena saya yang merasakan langsung akibatnya,” jawabnya.


“Ok. Tadi kamu bilang dari 10 tahun pernikahan, baru 2 tahun belakangan yang terasa kaya di neraka. Berarti sebelumnya baik-baik saja dan bahagia dong,” lanjutku.


Tiba-tiba raut muka teman itu berubah. Wajahnya sedikit memancarkan keceriaan dan sunggingan senyumnya mengekspresikan kebahagian yang mungkin selama ini dirasakannya telah hilang. “Ya, sebelumnya kami hidup bahagia mesti banyak kekurangan. Ingin rasanya merasakan kembali masa bahagia itu...” demikian lanjutnya lagi.


“Kamu ingin merasakan kebahagiaan itu lagi ... “kejarku menegaskan.


“Ya. Saya sungguh merindukan masa-masa bahagia itu,” sambungnya lagi.


“Boleh tahu kapan waktu yang paling membahagiaan dalam rentang waktu pernikahanmu,” tanyaku.


Seperti mencoba mengingat kembali perjalanan perkawinannya, diapun terdiam sejenak. “Sekitar masa 1 tahun pertama pernikahan. Itulah yang saya pikir waktu paling membahagiakan kami,”jawabnya lagi.


“Baik. Kamu masih ingat, apa saja yang kalian lakukan pada masa satu tahun pertama sehingga kamu merasa itu adalah masa pernikahan paling membahagiakan,” tambahku.


Tanpa pikir panjang maka diapun menceritakan detail peristiwanya satu persatu. Tidak ada lagi ekspresi tertekan dan stress. Kini ekspresi kebahagiaan benar-benar telah menggantikannya. Berkali-kali dia tertawa lepas. Sementara saya mencoba mendengarkan dengan baik semua ceritanya.


Setelah selesai menceritakan episode perkawinan yang paling membahagiakan, akupun mengatakan. “Nah sekarang pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, tolong, apapun yang dilakukan oleh istrimu jangan dipikirkan. Kalau kamu merasa nggak kuat dan mau marah, segera tinggalkan istri anda dan cari tempat yang tenang. Mulai sekarang, jangan fikirkan hal-hal yang jelek dari istri kamu. Tapi pikirkanlah masa-masa bahagiamu itu. Ingatlah keadaan istri pada saat itu. Terus pikirkan masa bahagia itu. Oke ?” demikian saranku mengakhiri sesi curhat malam itu yang dijawab dengan anggukan mantap dan tidak lupa, senyum yang mengembang.


..................................................................


Tanpa sepengetahuan teman tadi, sang istripun datang kepada saya dan menguraikan masalah rumahtangganya yang dikatakannya berantakan dari sudut pandangnya. Kepadanya juga saya tanyakan dan saya sampaikan apa-apa saja sama persis dengan apa yang saya katakan kepada suaminya. Supaya dia lebih mengingat masa-masa bahaia dengan suaminya dan mengingat kebikan-kebaikan suaminya yang dulu membuatnya sangat berbahagia.


..................................................................


Seminggu, dua minggu saya menunggu tetapi teman itu tidak kunjung datang. Berbeda dengan waktu sebelumnya yang hampir tiap 3 hari sekali datang dan menumpahkan begitu saja perasaannya kepadaku.


Ketika kedatangannya lagi sudah tidak ada dalam agenda saya, secara tiba-tiba teman itu muncul. Hal yang paling membuat aku bahagia adalah bahwa dia datang dengan istrinya yang selama ini sering disebutnya liar.


Saya mencoba melihat kalender dan, ya. Sudah 4 bulan mereka nggak dateng. Tapi sekarang ....


“Sepulang dari sini sekitar 4 bulan yang lalu, aku benar-benar mencoba melakukan apa yang kamu katakan,” demikian teman itu membuka pembicaraan.


“Berkali-kali istriku memancing emosiku, membuatku jengkel, mengata-ngataiku dengan umpatan yang keji. Tingkahnya semakin liar ...” lanjutnya yang diikuti dengan senyuman kecil istrinya yang duduk di sampingnya. Setelah santai iapun melanjutkan.


“Tapi seperti nasihatmu, aku nggak pikirin itu semua. Yang aku pikirkan tentang istriku adalah kebaikan-kebaikannya dulu yang menjadikanku bahagia. Makanya segala perilakunya yang menjengkelkan aku diamkan saja. Bahkan sebagiannya aku balas dengan senyuman,” sambungnya sambil sesekali melemparkan pandangannya ke arah istrinya.


“Sekali dua kali itu berjalan. Istri tetap dengan perangai awalnya. Sampai akhirnya keajaiban itu terjadi. Sebulan yang lalu, bayangan istriku yang aku miliki saat masa-masa bahagia dulu tiba-tiba muncul.”


“Kata-kata umpatannya berganti dengan sapaan menyejukkan, tuduhan-tuduhan kejinya berganti menjadi ungkapan maaf penuh cinta, tatapan kemarahannya berubah menjadi tatapan penuh kasih ... ,” dia terhenti sejenak. Disekanya butiran air mata yang mulai berlinang.


“Dalam hati ini, aku bergumam bahwa istriku telah kembali ..” lanjutnya.


Tiba-tiba istrinyapun menimpali,” Sepulang dari sini, aku mencoba mengikuti saran-saran anda. Tapi itu terasa sangat sulit. Setiap kali mencoba mengingat kebaikan suami, yang terlintas dikepalaku kemudian adalah sikap arogan dan diktatornya. Jadilah perilaku apa yang dikatakan suami sebagai “liar” selalu muncul dan muncul lagi.”


“Entah berapa kali saya seperti kesurupan, melampiaskan nafsu kemarahan tanpa kenal waktu. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa ada yang berubah dengan suami saya. Sudah beberapa bulan saya perhatikan tidak ada perlawanan darinya. Sehingga lama-lama saya malu juga ketika sadar bahwa saya ngcau sendirian.”


“Penasaran akan keadaan itu, maka akupun memberanikan diri untuk bertanya pada suami. Dan dia ceritakan semua kembali masa-masa indah dulu. Kami saling bercerita tentang kebaikan satu sama lainnya. Sehingga pada akhirnya, kami lebih tertarik untuk menghiasi hari-hari kami dengan kebaikan dan kelebihan pasangan,” ceritanya penuh haru.


“Dan hari ini tidak ada lagi alternatif pilihan cerai. Kami telah hapus pilihan itu. Dan atas semuanya, kami ucapkan terima kasih atas sarannya,” ucap sang suami diiringi jabat tangat erat dan peluk hangat penuh rasa cinta.


......................................................................


Kita sering obral kata-kata cinta. Akan tetapi cinta memang harus diungkapkan. Cinta memang harus dinyatakan. Cinta tanpa torehan kata, maka akan menjadi tak berbalas. Cinta tanpa ungkapan lisan, maka akan berujung kegalauan. Bahkan sebagian besar kaum wanita akan menjadi berbunga-bunga hatinya saat mendapatkan ungkapan kata CINTA dari orang yang dikasihinya.


Akan tetapi, kata saja tidaklah cukup. Seringkali lisan berucap cinta, tapi tangan berkata sebaliknya. Walaupun tetap dalam bungkusan ungkapan cinta.


Berapa banyak suami yang “atas nama cinta” menjadi seperti diktator yang mengatur tanpa kompromi semua detail kehidupan istrinya. Yang dengan perilaku “atas nama cinta” itu sang istri menjadi terluka.


Tidak sedikit para bapak yang “atas nama cinta” kemudian membungkam kreatifitas anaknya atas nama kehidupan yang disiplin dan penuh keteraturan. Yang dengan perilaku “atas nama cinta” itu sang anak menjadi tersakiti.


Adakah cinta sejati kan berujung luka yang menganga serta menyakiti jiwa dan raga orang-orang yang dikasihi. Ataukah cinta kan menutup luka dan membangkitkan jiwa-jiwa yang bahagia ?


Sepertinya ungkapan kata dan semburat pikiran cinta itu tidak boleh berhenti disitu. Ianya harus segera berujud pada rasa penuh cinta dan raga penuh cinta.


Segenap perasaan kita terhadap orang-orang yang kita kasihi harus mengekspresikan dominasi cinta. Raga kita juga harus menjadi penterjemah paling fasih terhadap kata cinta.


Tanpa keikutsertaan segenap perasaan dan peran total jasad ragawi kita, maka ungkapan dan pikiran cinta itu tidak akan membuahkan hasilnya. Ia hanya akan sebatas jargon tanpa makna, sebatas asa tanpa hasil, sebatas slogan tanpa realita.


Cinta hanya akan menemukan maknanya ketika segenap perasaan kita terhadap orang-orang yang kita cintai selalu didominasi oleh cinta, dan raga membenarkannya dengan perilaku yang berjalan diatas kamus cinta. Sekedar kata dan asa, cinta akan kehilangan jiwanya.


Dan kedua suami istri diatas telah menemukan kembali cintanya yang hilang.

Wallahu a’lam bishowab.

Let Us Confirm

Aku menjadi semakin salah tingkah. Teman-teman yang biasanya memberi sambutan hangat setiap kami ketemu, tiba-tiba memperlihatkan perilaku yang aneh. Tatapan mereka penuh curiga, senyum mereka penuh makna kesinisan. Jabat tangan mereka hambar tanpa kehangatan.

“Ada apa ya dengan mereka,” demikian gumamku kebingungan. Sambil berjalan menuju kelas, sesekali kulihat mereka mencuri-curi kesempatan menggunjingkan sesuatu di belakangku.


“Atau jangan-jangan ada yang keliru dengan aku. Tapi apa ya .... ,” tanyaku pada diri sendiri sambil kugaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.


Hingga menjelang bel pulang sekolah berbunyi tidak ada satupun dari mereka – teman-teman akrabku – yang ngomong ada masalah apa denganku. Aku menjadi semakin salah tingkah karena perubahan sikap teman-teman yang sangat drastis.


.........................................................................


Sikap teman-teman sungguh membuatku tertekan, stress. Kalau saja aku tahu apa masalahnya, mungkin aku bisa menyelesaikannya. Tapi mereka memilih diam, seperti aku bukan lagi bagian dari mereka.


Padahal satu setengah tahun terakhir adalah masa-masa terindah dalam usia remajaku. Aku dipertemukan dengan teman-teman SMA yang diusia remajanya yang penuh gelora justru lebih memilih untuk menjaga diri dari semua yang berpotensi merusak.


Kami menjadi seperti tak terpisahkan. Setiap pertemuan kami hiasi dengan jabat tangan yang erat dan hangat. Tak pernah ketinggalan peluk erat ukhuwah mewarnai setiap perjumpaan dan perpisahan kami. Doa kebaikan untuk teman yang lain tidak pernah kami lewatkan dalam setiap sholat kami.


Rona wajah kami lebih ddidominasi ekspresi keceriaan dan optimisme. Senyum renyah yang tersungging adalah konsumsi harian bibir kami. Dan tutur kata santun penuh nilai adalah bahasa keseharian pergaulan kami.


............................................................................


Tiba-tiba aku tersadar. Itu semua adalah lamunan indah masa lalu yang telah usai. Sekedar membayangkan saja keindahan masa lalu kemudian membandingkannya begitu saja dengan keadaan sekarang juga bukanlah sikap yang bijak, karena justru akan menjadikan hati dan fikiran ini sakit.


“Aku harus mengembalikan masa-masa indah itu,” demikian anganku memecah lamunan. “Aku harus cari tahu ada masalah apa denganku, untuk kemudian sebisa mungkin kuperbaiki agar keindahan ukhuwah yang selama ini kurasakan bisa hadir kembali,” ucapku dalam hati untuk memperkuat keyakinan.


............................................................................


Kulihat Ali – temanku di Rohis SMA – sudah selesai melakukan sholat dhuha. Setelah beberapa doa dibacakan, kuberanikan diri untuk mendekati Ali. Awalnya dia seperti hendak menghindar, tetapi akhirnya mau menerima kehadiranku.


“Akh Ali, sebenarnya ada apa sih dengan aku ?” tanyaku langsung tanpa harus merinci maksudnya karena aku yakin dia sudah paham.


“Antum berbuat maksiat, dan teman-teman benci melihat antum ,” sambarnya tanpa ekspresi.


“Hah ... aku bermaksiat .... ?” tanyaku kaget. Masih dengan kekagetan, akupun mencoba mengklarifikasi masalahnya. “Ya, tapi maksiat apa. Tolong dong bilang ?”


“Antum berpacaran dengan seorang akhwat. Akh Joko melihat antum boncengan naik motor malam Rabu kemarin jam 11 malam di Jl. Sultan Agung ? sambung Ali melanjutkan.


“Akh Joko menyampaikan itu pada kami semua ..,” sambungnya lagi. Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengarkan cerita Ali.


.........................................................................


Sabtu siang itu ruang mushola sekolah sudah penuh sesak. Teman-teman Rohis sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarkan jawaban dari aku tentang tuduhan pacaran itu.


“Malam itu ada seorang ibu muda mendapati anaknya yang baru berusia 4 bulan sakit. Panas badannya sangat tinggi, mukanya membiru dan tubuhnya kejang-kejang. Sementara suaminya sedang di luar kota,” ceritaku sambil menahan nafas panjang.


“Aku yang tahu akan kondisi yang darurat itu tidak mungkin membiarkan saja. Aku ambil sepeda motorku. Kuboncengkan ibu muda itu dan anaknya untuk kubawa ke rumah sakit,” sejenak kemudian aku terdiam.


“Terus gimana dengan anak itu. Apa dia tertolong ?” tanya teman-teman penuh semangat.


“Alhamdulillah, Allah masih memberikan pertolongan. Kata dokter, telat 30 menit saja keadaan bisa fatal ...,” sambungku sambil tak terasa mataku mulai berkaca-kaca.


“Dan antum semua tahu, siapa ibu muda itu ?”tanyaku. “Ibu muda itu adalah kakakku sendiri.”


Dan teman-temanpun berhamburan mendekatiku memohon maaf. Peluk dan linangan air mata haru mewarnai Sabtu siang itu.


....................................................................


Seringkali karena kebencian kita pada suatu kaum menjadikan kita tidak bisa berbuat adil pada kaum tersebut. Walaupun mulut kita mengatakannya sebagai ekspresi rasa cinta.


Kita menjadi mudah menjatuhkan pilihan untuk bersikap “mendzolimi” orang lain tanpa sebelumnya didahului pemikiran panjang. Kesimpulan-kesimpulan yang terbangun dari asumsi-asumsi sepihak seringkali lebih mendominasi daripada upaya untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.


Seandainya dalam banyak hal kita juga mau mendengarkan, melihat dan memahami sekumpulan fakta dari sudut yang berbeda, sungguh fenomena “penzholiman” itu semestinya bisa terhindarkan. Sungguh penilaian sepihak yang terkadang banyak salahnya itu tidak akan menjadi budaya.


Membudayakan Possitive Thinking dan Possitive Feeling (Khusnudzdzon) – dan itu adalah syariat Islam – dengan membuat seribu satu sudut pandang untuk menafikan penilaian awal yang negatif terhadap saudara kita, adalah suatu keharusan. Tidak bisa tidak ini harus dibudayakan. Budaya ini perlu ditumbuhkan untuk mereduksi adanya kemungkinan masuknya kepentingan orang-orang yang menghendaki hancurkan ukhuwah dan persatuan yang erat diantara sesama saudara.


Kalaupun toh belum ketemu juga sisi positifnya setelah seribu satu sudut pandang digelar, maka hal paling bijak setelah itu adalah dengan melakukan konfirmasi (tabayyun) langsung dari sumber beritanya.


Seorang teman mengatakan bahwa kalaupun dikonfirmasi maka tidak merubah apapun. Orangnya susah dikonfirmasi. Dan kami sudah yakin bahwa informasinya valid karena keluar dari orang yang dipercaya.


Masalahnya adalah, tabayyun hanya akan bisa dilakukan dengan baik oleh orang-orang yang mengawali segalanya dengan semangat khusnudzdzon. Tabayyun adalah mediasi untuk mencari kebenaran berita serta fakta, dan bukan mencari pengakuan dosa dari sumber berita. Karena mencari pengakuan dosa lebih dilandasi oleh prasangka buruk. Dan Prasangka buruk lebih dekat pada kesalahan, pada pendzoliman.


Pikiran dan hati yang positif akan membuka kanal-kanal tabayyun. Komparasi informasi dan fakta yang dilandasi oleh niatan dan perilaku baik, pada akhirnya insya Allah akan melahirkan hasil akhir yang baik.


Saat tabayyun – yang dilandasi oleh pikiran dan hati yang positif – terjadi, maka siap-siaplah untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya. Bukan mendapati diri kita sebagai pemenang yang berarti mendominasi arena kebenaran, serta mendapati orang lain sebagai orang kalah dan itu berarti dia adalah pihak yang paling bersalah.


Ya, mari mengedepankan Khusnudzdzon dan Tabayyun untuk setiap persoalan yang menimpa saudara kita.


Wallahu a’lam



Wednesday, November 05, 2008

Fingers Knight Story

Alkisah berkumpullah 5 jawara hebat di Negeri Hand. Kelima jawara tersebut adalah pendekar hebat tak terkalahkan yang selama ini telah berjasa mempertahankan negeri Hand dari serangan musuh. Akan tetapi raja sepertinya ingin memberikan penghargaan kepada pendekar terbaik dari kelima pendekar hebat yang ada. Sehingga akhirnya kelima pendekar itupun diuji kehebatannya dengan diadakan pertarungan secara terbuka.

Setelah seluruh rakyat dan penghuni istana negeri Hand sudah memenuhi lapangan tempat pertarungan kelima jawara terbaik negeri, maka pertarunganpun dimulai. Dan sebelumnya masing-masing pendekar diperintahkan raja untuk memperkenalkan kehebatan masing-masing.

Kesempatan pertama, tampillah Pendekar Jempol (Pendekar Ibu Jari). Dia mengatakan bahwa tidak ada yang lebih hebat darinya. Setiap kali manusia hendak memberikan ungkapan tanda kehebatan seseorang atau sebuah kejadian, maka yang diacungkan oleh tangan adalah Ibu Jari dan bukan jari yang lain. Diapun mengatakan bahwa tanpa dirinya – ibunya para jari – maka tidak akan mungkin ada jari yang lain. Tak lupa Pendekar Jempol juga memamerkan bentuk tubuhnya yang memang kelihatan lebih besar dan berisi dibandingkan jari yang lainnya. Dan setelah menyaksikan kehebatan Pendekar Jempol, maka seluruh pendudukan negeri Hand-pun memberikan tepuk tangan meriah dan mengelu-elukannya sebagai pendekar hebat.

Kemudian pada kesempatan kedua, tampillah Pendekar Telunjuk. Dengan gagah berani dia menunjukkan kehebatannya. Dia mengatakan bahwa setiap pemimpin ketika memerintah bawahannya pasti menggunakan jari telunjuk dan bukan jari lainnya. Dengan acungan jari telunjuk, maka semua bawahan akan menurut. Kemanapun jari telunjuk ini mengarah, kesitulah bawahan mengikuti. Ringkasnya, dibawah kendali Pendekar Telunjuk maka semua orang akan tunduk dan menurut. Tidak ada satupun yang bisa membantahnya. Dan setelah menyaksikan kehebatan Pendekar Telunjuk, maka kembali seluruh penonton memberikan sambutan yang riuh.

Giliran ketiga yang tidak kalah hebatnya adalah Pendekar Tengah. Seketika dia meminta kepada semua pendekar untuk berdiri, dan nyatalah bahwa Pendekar Tengah adalah pendekar tertinggi. Dan dengan jurus berdiri itulah kemudian Pendekar Tengah menjadi tak terkalahkan oleh pendekar yang lainnya. Dan seluruh penonton dibuat kagum oleh kehebatan jurus sang Pendekar Tengah yang menyambutnya dengan tepukan meriah.

Pada giliran keempat tampillah Pendekar Manis. Tak mau kalah dengan penampilan para pendekar sebelumnya, Pendekar Manispun mengeluarkan jurus pamungkasnya. Dia mengatakan bahwa setiap penghargaan hebat dalam bentuk cincin maka tempatnya pasti di jari manis. Cincin kawinpun dipasang di jari manis dan bukan dijari yang lain. Alangkah lucunya kalau ditaruh di jempol. Demikian kehebatan Pendekar Manis dengan jurus cincinnya membuat arena pertarungan semakin bergemuruh, seperti belum ada tanda siapa yang bakalan menjadi pemenang.

Sehingga sampailah pada giliran terakhir yaitu Pendekar kelingking. Ketika maju ke arena – tidak seperti pendekar lain yang langsung mempertontonkan kehebatannya – Pendekar Kelingking terlihat kebingungan. Mungkin dia tidak menyangka akan kehebatan jurus-jurus dari pendekar yang lainnya. Ketika penonton sudah mulai gelisah dan kelihatan brutal, tiba-tiba .... Kalau Pendekar Jempol hebat dengan jurus jempolnya, Pendekar Telunjuk dengan jurus telunjuknya. Kemudian Pendekar Tengah dengan jurus berdirinya dan Pendekar Manis dengan jurus manisnya, maka saksikanlah jurus hebatku. Demikian kata Pendekar Kelingking.

Tiba-tiba Pendekar Kelingking masuk ke hidung sang raja dan bergerak-gerak mengorek-korek hidung sang raja. Dan ketika keluar, Pendekar Kelingking membawa benda hitam yang menempel pada tubuhnya. Dengan bangga Pendekar Kelingking mengatakan, “ Tanpa saya maka hidung sang raja akan kotor dan terus kotor sehingga pada akhirnya raja tidak bisa bernafas. Tidak ada satupun dari pendekar yang lain berani masuk ke hidung sang Raja, apalagi Pendekar Jempol”. Mendengar itu maka seluruh penonton kembali memberikan sambutan meriah. Dan sepertinya keadaan seimbang untuk kelima pendekar yang ada.

Melihat bahwa hingga penampilan terakhir tidak ada yang menang, maka rajapun memberikan satu pertandingan lagi. Dan pertandingan terakhir adalah lomba menyapu lantai. Dan setelah lomba dimulai tidak ada satupun pendekar yang turun ke arena. Mereka cuma bengong dan tidak tahu harus melakukan apa. Setelah masing-masing memikirkan jurus andalannya tetapi tidak juga ketemu, maka akhirnya para pendekar itupun sadar bahwa mereka masing-masing tidak akan mampu menyelesaikan tantangan raja. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan itu adalah dengan adanya kerjasama diantara kelima pendekar itu dan menanggalkan ego kehebatan masing-masing. Dan tantangan raja itupun terselesaikan sudah.


..............................................................


Cerita ini jelas murni 100% fiktif. Akan tetapi keberadaannya sangat dekat dengan realita kehidupan kita. Tidak lain itu adalah penggambaran dari jari-jari di tangan kita. Kalau ditanyakan, lantas siapakah yang paling hebat ? Maka jawabannya ya jelas nggak ada yang paling hebat. Tetapi mereka akan menjadi jauh lebih hebat apabila ada sinergi yang baik diantara semua elemen jari yang ada.

Sebagai pribadi-pribadi yang utuh dan matang, barangkali masing-masing kita adalah orang yang hebat. Atau bahkan kita merasa paling hebat. Tetapi itu pasti hanya pada satu bagian saja. Sedangkan pada bagian yang lain, tentu saja belum tentu atau bahkan tidak sama sekali. Sehingga bisa jadi kita adalah jawara pada satu bidang atau bagian, tetapi kita menjadi pecundang pada bagian yang lain. Pada bagian yang lain itu ada orang lain yang menjadi jawara.

Ketika para jawara atau orang hebat itu hanya mengandalkan kekuatan dan kelebihannya sendiri-sendiri, maka pada satu kondisi dia tidak akan memberi manfaat sama sekali. Kehebatan dan kejawaraannya baru akan memberikan dampak yang serius ketika ada sinergi dan integrasi dengan kejawaraan orang lain. Sinergi dan integrasi yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah model kejawaraan baru, yaitu kejawaraan kolektif.

Islam mengajarkan kepada kita bahwa " Kebenaran yang tidak terorganisasi (tertata) akan bisa dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi (tertata)".

How About Us ....................



Monday, November 03, 2008

Reality Understanding

Saya sedang mengenakan lagi sepatu setelah selesai melakukan sholat dhuha di mushola fakultas. Sementara itu kami - saya dan teman lain yang berada di beranda mushola - bercanda sedikit yang seperti sudah menjadi rutinitas keseharian kami kalau bertemu. Pagi itupun serasa indah setelah kami melewatinya dengan aktifitas yang kami anggap positif.

Keceriaan pagi itu sontak berubah hening ketika tiba-tiba datang teman kami yang lain dengan berondongan omongannya.

"Mbang, kamu adalah orang yang dzolim. Kamu harus memper tanggungjawabkan semua kekacauan ini dihadapan Allah kelak .... ," yang segera saya potong karena memang terdengar nggak enak.

"Hei, ada apa ini. Duduk yang tenang dan ngomong yang jelas," balasku.

"Kamu orang dzolim. Kenapa para muslimah itu kamu biarkan berkeliaran di kampus ini, sementara orang tua dan keluarga mereka ada di kota yang lain. Kamu sebagai ketua BPPI (Badan Pengkajian dan Pengamalan Islam, semacam rohis di FE UNS) mestinya menyuruh mereka tinggal di rumah-rumah mereka masing-masing. Bukankan Allah menyuruh mereka tinggal di rumah-rumah mereka masing-masing," berondongan itu mengalir dengan deras dan cepat seraya mengacung-acungkan telunjuknya tepat ke arah mukaku, diselingi kutipan-kutipan ayat kitab Al Qur'an yang ditafsiri sekehendak dia.

Teman saya yang satu ini memang belum lama memiliki semangat untuk menata ulang hidupnya sesuai dengan tuntutan kitab suci (Al Qur'an) dan sunnah Rasululloh. Saya sendiri tahu persis bahwa dua semester yang lalu, bacaan Qur'annyapun masih berantakan. Saya tidak tahu apa yng ada dalam pemikiran dan keyakinannya sehingga tiba-tiba dia berubah menjadi seperti hakim yang siap memuntahkan semua fonis hukumnya pada orang lain.

Setelah dia berhenti memberondongku, giliran saya yang bertanya.

"Sekarang gini. Kalau anda nanti menikah, kemudian pada saatnya nanti istri anda hamil. Nah di sekitar anda ada 3 dokter yang bisa menolong persalinan istri anda. Satu dokter laki-laki, satunya lagi dokter wanita non muslim dan yang terakhir dokter wanita muslimah. Nah, kemana anda akan bawa istri anda untuk persalinan ?"

Dengan bangga dia menjawab, " Ya jelas saya bawa ke dokter wanita muslimah. Tidak mungkin aku bawa ke dokter laki-laki apalagi ke dokter non muslim".

"Oh begitu ya. Kalau begitu anda pembohong besar," potongku cepat.

"Anda tidak boleh menuduh saya sebagai pembohong besar," jawabnya penuh emosi.

"Gimana mungkin ada dokter wanita muslimah, kalau tidak ada muslimah yang kuliah. Karena untuk jadi dokter itu harus kuliah di kedokteran, ikut program Co Ass," timpalku lebih lanjut yang menjadikannya tambah bingung.

"Oke, oke. Saya mentoleransi kalau kuliahnya kedokteran. Tapi ini kita di ekonomi. Setelah lulus para muslimah itu akan bekerja di sektor publik. Padahal kewajiban bekerja kan ada pada para suami mereka .." lanjutnya mulai ngawur.

"Nah, kalau gitu ada dalilnya. Firman Allah: Wahai orang-orang beriman, jauhkanlah diri kalian dari berprasangka. Karena sebagian dari prasangka itu adalah kesalahan," sambung saya dengan membacakan ayat Al Qur'an ini dalam teks arab hingga selesai dan mengartikannya.

"Saya yakin anda belum pernah mengadakan survey untuk mengetahui apakah para muslimah itu akan bekerja atau tidak. Sehingga anda nggak boleh memfonis seperti itu," lanjutku kemudian.

"Pokoknya gini. Sebelum ada ayat yang mengatakan bahwa dihalalkan kuliah kedokteran dan diharamkan kuliah ekonomi, maka saya tidak akan mengikuti anjuran anda. Sepertinya anda perlu belajar agama lebih serius lagi," kataku sambil berdiri meninggalkan teman tadi yang mukanya mulai kelihatan memerah. Entah marah atau bingung saya juga tidak tahu.

Saturday, November 01, 2008

Just Answer It



Pada beberapa moment kehidupan yang saya jalani, sering muncul beberapa persoalan-persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik. Sebagiannya sangat menggelitik dan dibutuhkan jawaban dengan memutar otak lebih keras. Sebagiannya yang lain – entah bagaimana awalnya – Allah memberikan kemudahan untuk menjawabnya dengan baik.

1. Pekerjaan Tetap

Ketika hendak melamar wanita yang sekarang menjadi istri saya, calon mertua (camer) menanyakan satu hal setelah pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Camer : apa kamu sudah punya perkerjaan tetap .....

Saya : kalau pekerjaan tetap sih belum, tetapi saya tetap bekerja .....

Setelah menikah, istri saya bilang bahwa bapak (mertua saya) sangat kaget dengan jawaban saya waktu melamar. Bapak tidak menyangka dengan jawaban saya yang singkat, ceplas-ceplos dan berani tanpa pikir panjang.

Tetapi – masih kata istri – justru karena jawaban cepat dan berani itulah akhirnya bapak mantap menerima lamaran saya. Baginya, anaknya akan aman ditangan orang yang berani ambil resiko.


2. Gaji Pokok

Sewaktu menjadi Manager HRD di sebuah Sekolah Islam International di Jakarta dan diadakan sosialisasi tentang sistem kepegawaian, pada saat pembahasan tentang penggajian, ada karyawan yang bertanya :

Karyawan : Tadi bapak menjelaskan tentang komponen gaji. Kok komponen gaji pokok satuannya kecil dibanding total gaji. Memang gaji pokok itu apa sih pak ......

Saya : Gaji pokok itu yaa ..... pokoknya gaji. Ya gaji sekedarnya saja. Jadi ya ... kecil. Kalau ditambahin dengan tunjangan-tunjangan ya jadi besar. Gimana ...

Karyawan : Ohhhhhh .....

Setelah itu saya lihat karyawan tersebut menggaruk-garuk kepalanya berkali-kali. Saya tidak tahu persis apa yang ada dalam pikirannya.


3. Karyawan Tetap

Masih sewaktu menjadi Manager HRD, seorang karyawan baru bertanya :

Karyawan : Pak, untuk menjadi karyawan tetap syaratnya apa sih ...

Saya : Anda sudah bekerja minimal 2 tahun dan mendapatkan penilaian kerja yang baik. Memangnya ada apa ... Anda kan karyawan baru ...

Karyawan : Enggak kok pak. Tadi saya dengar kalau menjadi karyawan tetap itu akan mendapat banyak fasilitas.

Saya : Gini. Anda kepingin jadi karyawan tetap atau tetap karyawan ....

Karyawan : Emang bedanya apa Pak ...

Saya : Kalau karyawan tetap itu ya, anda kerja terus di sini. Kalau tetap karyawan ya, anda selamanya jadi karyawan walaupun tidak kerja disini.

Karyawan : Terus baikan yang mana ...

Saya : Kalau bisa jangan jadi keduanya. Enakan jadi bos.


4. Penghasilan Tetap

Dalam sebuah sesi seminar tentang Membangun Jiwa Entrepreneurship, saya melontarkan sebuah pertanyaan ice breaking.

Saya : Ibu-2, anda lebih suka pada suami yang punya penghasilan tetap atau tetap berpenghasilan ...

Ibu-2 : Ya jelas yang punya penghasilan tetap. Jadi ngatur pengeluarannya kan enak ...

Saya : Walaupun penghasilannya tetap kecil ...

Ibu-2 : (pada bengong dan sebagian ribut sendiri)

Saya : Tentu anda semua lebih suka yang tetap besar kan. Nah wirausahalah jalannya.


5. Kader Inti

Ketika diminta menjelaskan hirarki keanggotaan di sebuah partai politik – dimana dibedakan untuk mempermudah proses pembinaan kaderisasinya – seorang peserta bertanya dengan lugasnya.

Peserta : Tadi dijelaskan tentang adanya kader pendukung dan kader inti. Yang dimaksud dengan kader inti itu apa sih .....

Saya : Kader inti itu ya .... intinya kader.

Peserta : Maksudnya ...

Saya : Kalau kader pendukung sifatnya cuma mendukung, maka kader inti harus jadi penggerak utama roda organisasi. Jadi ya itu tadi, intinya kader.

Peserta : Oh .....


6. Konflik Ambon.

Saya diundang oleh teman-2 HMI Komisariat UNS untuk menjadi salah satu pemrasaran pada acara diskusi tentang konflik Ambon ketika berkecamuknya konflik horizontal di Ambon.

Tiba-tiba ada seorang peserta diskusi yang dengan sangat semangatnya mencecar dan membantai saya dengan argumentasinya.

Peserta : Semestinya kaum muslimin di sana tidak perlu menyerang balik, karena justru akan menimbulkan perang berkepanjangan tanpa henti. Muslim harus mengedepankan perdamaian sebagai perwujudan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin ...

Saya : (Sambil menatap tajam wajah si penanya, saya lempar dia dengan spidol yang saat itu saya pegang)

Peserta : (Setelah berusaha menangkis sekenanya) Kok anda marah begitu. Saya kan bertanya, jawab dong yang benar, bukannya anda marah begitu.

Saya : Mas, lemparan saya yang anda tangkis itu sakit nggak rasanya ...

Peserta : Ya enggak sih ... tetapi nggak benar anda lempar saya begitu ...

Saya : Seandainya mas tidak menangkis lemparan saya, kira-kira kalau spidol itu mengenai badan mas, sakit nggak rasanya ...

Peserta : Ya enggak juga, tetapi kenapa saya harus dilempar begitu ...

Saya : Gini mas. Anda tahu kalau dilempar spidol begitu tidak akan menimbulkan rasa sakit. Tetapi anda melakukan perlawanan begitu gigihnya. Anda marah-marah dan bahkan kalau tidak ditahan teman-teman yang lain, anda mungkin akan melawan saya.

Peserta : Habis anda kurang ajar, pakai lempar spidol segala ke saya. Emang saya salah apa. Orang cuma nanya ...

Saya : Sekarang bayangkan mas di Ambon. Di Ambon itu yang ada adalah pertaruhan hidup dan mati. Kalau tidak menyerang maka diserang, kalau tidak mempertahankan diri maka dibantai. Kalau tidak melawan, maka dihabisi.

Jadi kalau mas yang yakin lemparan saya tidak akan menyakiti tetapi begitu gigihnya mas melawan saya, begitulah yang terjadi dengan kaum muslim di Ambon. Tidak ada pilihan lain ...

Jadi Mas jangan berwacana saja yang berlawanan dengan realita yang mas tunjukkan sendiri baru saja ...

Peserta : (bengong tertunduk lesu) ......


Wait for next episode ...



Thursday, October 30, 2008

Amazing Hope

Sudah dua hari belakangan ini ingin rasanya aku tumpahkan tumpukan pertanyaan pada bapak.

Pertanyaan demi pertanyaan yang akan sangat menentukan wajah masa depanku kelak. Tetapi demi melihat wajah bapak yang nampak kosong seperti tidak menyisakan jawaban yang sekiranya bakalan memuaskanku, ditambah dengan badan lesu yang kelihatan gontai selama beberapa pekan belakangan ini, tak tega rasanya mulut ini tuk berucap tanya. Dan untuk kesekian kalinya aku urung menanyakannya pada bapak. Menunggu saat yang tepat untuk tidak menambah beban pikiran bapak lebih berat, barangkali itulah sederet kalimat penawar gundah hati yang membara.

"Tetapi, waktunya tinggal 3 hari lagi buatku untuk membayar biaya daftar ulang masuk perguruan tinggi di Fak Ekonomi UNS Solo", demikian gumamku gundah sambil mondar-mandir garuk-garuk kepala yang tidak lagi terasa gatal. "Ini adalah kesempatanku untuk kuliah, sesuatu yang sudah lama kuimpikan. Tetapi hingga hari ini akupun belum yakin apakah impian yang sudah di depan mata itu bisa kuraih. Sementara untuk mencukupi kebutuhan harian saja, sudah 4 bulan ini kami selalu berhutang kepada tetangga", gumamku lirih.

........................................................................................

Sekitar 6 bulan yang lalu, keadaan ekonomi keluargaku bak terkena sapuan arus tsunami. Baru saja kami sekeluarga menerima kabar gembira lantaran bapak memenangkan tender pengerjaan proyek penyediaan kebutuhan mebel untuk mengisi kebutuhan proyek SD Inpres se kabupaten Cilacap. Tetapi seketika kegembiraan yang masih segar itu seketika hilang berganti sedih dan penuh kekalutan.

Agaknya bapak kurang mengikuti update harga-harga bahan terutama kayu, karena selang seminggu setelah penandatanganan kontrak, muncul regulasi baru harga kayu dengan peningkatan kenaikan harga hingga 100 % lebih. Sehingga secara kasat mata, proyek yang semestinya memberikan keuntungan besar seketika berubah menjadi monster mengerikan yang memunculkan kebangkrutan. Bapak rugi besar sebelum proyek itu dikerjakan.

Kami semua sempat memberikan opsi kepada bapak untuk meminta penangguhan proyek atau penyesuaian harga. Tetapi upaya itu tidak membuahkan hasil. Kamipun memberikan dorongan kepada bapak untuk mundur dari proyek, tetapi bapak tidak menyetujuinya. Bagi bapak, karena kontra sudah ditandatangani, maka satu-satunya jalan adalah dilaksanakan. Meski untuk itu harus menanggung kerugian besar.

Ketika kami menunjukkan protes keras akan sikap bapak yang memilih menanggung kerugian, bapak berujar, " bapak sudah bisnis di mebel ini sejak 20 tahun yang lalu. Dua kali kebangkrutan pernah bapak alami, sebagaimana mendapatkan keuntungan besarpun pernah dan sering kita dapatkan. Dan bapak masih akan terus bergelut di bisnis ini paling tidak untuk 20 tahun ke depan. Kalau bapak memutuskan untuk mundur secara sepihak, maka besok-besok tidak akan ada lagi yang percaya dengan kredibilitas bisnis bapak. Dab segera setelah itu bisnis bapak akan hancur". Karena kami semua sangat hafal akan sikap dan pendirian bapak, maka kami semua sebagai anaknya hanya mengangguk mengiyakan.

.........................................................................


Dengan mencoba menjaga ritme pembicaraan dan tetap tenang, kuberanikan diri menyampaikan kegelisahan ini demi sebuah jawaban pasti.


“ Pak, maaf sebelumnya. Aku cuma mau tanya masalah biaya daftar ulang kuliah saya. Kan tinggal tiga hari lagi batas waktunya. Gimana ya Pak, sudah ada atau belum uangnya. Kalaupun nggak ada ya nggak papa. Masih bisa ikut test lagi tahun depan,”


Dengan lemas bapakpun menjawab,” Ya, sampai sekarang bapak belum ada uang untuk biaya daftar ulang kamu. Buat makan hari inipun juga belum ada.” Bapak tetap berusaha tersenyum dalam menjawab pertanyaanku. Setelah terdiam dan menarik nafas panjang beberapa saat,” Kamu sabar saja ya. Bapak masih yakin bahwa kamu akan kuliah tahun ini. Bapak yakin Allah akan kasih rejeki untuk biaya kuliah kamu, walaupun bapak sendiri tidak tahu kapan dan dari mana”, sambung bapak sambil menepuk pundakku.


........................................................................


Hari masih pagi – sekitar pukul 08.00 – ketika tiba-tiba pintu rumah kami diketuk. Ketika pintu kubuka, ternyata yang datang adalah Mas Fahri. Dia adalah teman lama kakakku waktu di SMA. Sudah 4 tahun lebih dia tidak main ke rumah. Terakhir dia datang ke rumah ketika berpamitan hendak pergi meneruskan studinya ke luar kota. Setelah lulus dari studinya ternyata dia memutuskan kembali ke Tegal dan mulai merintis pendirian sekolah, sesuatu yang sejak dahulu dicita-citakannya.


Dan setelah sedikit berbasa-basi kangen-kangenan, Mas Fahripun mengutarakan keperluannya. “Maaf sebelumnya, berhubung saya ada janjian lagi, maka langsung saja saya sampaikan maksud kedatangan saya ke sini. Pak Kus, saya mau pesan seperangkat kebutuhan mebel untuk kebutuhan sekolah baru saya.” Setelah mengutarakan spesifikasi dan terjadi proses tawar menawar harga dengan bapak, Mas Fahripun menyampaikan,” Karena harganya sudah sepakat, maka saya bayar sekarang saja total pembayarannya.”


Saya dan bapak tertegun. Hampir 4 bulan bisnis mebel bapak tidak berproduksi. Silih berganti orang datang mau memesan mebel bapak, tetapi selalu gagal. Dan hari ini ketika matahari belum lagi tinggi, tiba-tiba datang seorang yang sudah lama tidak datang. Tanpa banyak menolak tawaran spesifikasi dan harga dari bapak, diapun menerima sepenuhnya dan membayarnya segera.


.........................................................................


“Ayo, sekarang segera kemasi pakaian kamu. Siapkan syarat-syarat administratifnya. Siang ini juga kamu harus berangkat ke Solo. Kan besok adalah hari terakhir pembayaran daftar ulang untuk kuliahmu,” sambung bapak dengan senyum merekah diselingi mata yang berkaca-kaca.


Tak kuasa kutahan linangan air mata bahagia bercampur haru, kusalami dan kuciumi tangan bapak. Hari itu adalah satu dari hari-hari paling membahagiakan dalam hidupku. Akhirnya keinginanku untuk kuliah tergapai juga.


..........................................................................


Dalam dekapan rasa haru, mengiringi keberangkatanku ke Solo, bapak menitipkan pesan.


“Kita boleh saja kehilangan semua harta yang kita miliki, sehingga tak tersisa lagi orang yang menghormati kita karena kemiskinan yang kita rasakan.


Kita juga boleh kehilangan semua sanak saudara yang kita miliki, lantaran tidak ada lagi saudara yang mau dekat dan menolong kita karena predikat miskin yang kita miliki.


Dan kita juga nggak masalah kehilangan semua jabatan yang kita miliki, lantaran tidak ada lagi orang yang menaruh rasa percaya pada keberadaan kita.


Boleh, semuanya boleh menghilang dari sekitar kita.


Yang tidak boleh hilang dari kita adalah HARAPAN.


Harapan untuk terbitnya sinar yang menerangi setelah kegelapan panjang yang mencekam. Harapan untuk hadirnya kemudahan, setelah kesulitan demi kesulitan yang selalu hadir seperti tak berujung. Harapan akan munculnya kebahagiaan , setelah penderitaan-demi penderitaan yang mendera kita.


Kita harus terus memiliki harapan-harapan itu, apapun kondisinya. Kita harus terus percaya bahwa Allah akan selalu memberikan kebaikan dan kemudahan setelah kesulitan. Karena harapan yang selalu ada dalam dada dan pikiran manusia akan mampu membakar semangat hidupnya menjadi lebih membara dan bergairah.


Harapan yang selalu memancar akan mampu menjadikan manusia menjadi lebih kreatif untuk selalu menemukan jalan dan cara-cara baru untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Dan dengan harapan yang selalu menyala, akan mampu menuntun kita dari kegelapan demi kegelapan kepada cahaya kebahagiaan. Akan mampu mengurai kesulitan demi kesulitan menjadi kemudahan. Akan mampu mencairkan kebuntuan demi kebuntuan hidup menjadi laksana air yang mengalir tanpa mengenal berhenti.


Tanpa harapan, manusia akan mudah putus asa. Tanpa harapan, hidup ini menjadi tidak memiliki gairah untuk maju. Dan tanpa percaya pada harapan, manusia akan menemukan jalan buntu dan kebekuan.


Dan pada saat yang tepat Allah pasti akan mengabulkan harapan-harapan dan permohonan kita. Percayalah.



Wallau a’lam





Monday, September 08, 2008

Belajar Sukses

Pada satu sesi pelatihan Sales Magic di Graha Niaga Kawasan Sudirman, Mr. Tung sang trainer memulai dengan satu kisah tentang dua sahabat kaya raya yang konon juga memiliki kesaktian sehingga mereka berdua bisa berjalan diatas danau.

Alkisah, kedua orang tersebut - sebut saja Banu dan Budi - dulunya pada jaman presiden Soeharto adalah pemain valas. Ketika krismon mendera Indonesia dan rupiah melemah tajam, ketika semua orang berlomba-lomba membeli dolar untuk menangguk cadangan keuntungan dolar dikemudian hari, mereka malah menjual habis dolarnya dan mengambil rupiah.

Dan ketika jaman Habibi menjadi presiden, ketika rupiah mulai membaik dan dolar secara perlahan melemah, mereka kembali menjual rupiahnya dan mendapatkan dolar Amerika. Disaat bersamaan kondisi bisnis properti lagi hancur. Berbagai asset perusahaan yang bangkrut tersapu badai krisispun dijual dengan murahnya dengan standar harga menggunakan satuan dolar. Melihat itu merekapun banyak membeli aset properti, ketika disaat yang bersamaan sebagian besar orang menganggap bahwa membeli properti adalah tindakan yang bodoh karena memang bisnis properti sedang hancur.

Saat Gus Dur memerintah dan bisnis properti mulai menggeliat ditandai dengan banyaknya meningkatnya minat pembeli dan merangkak naiknya harga properti, dua sahabat inipun menjual semua aset propertinya. Dalam usia yang masih muda - setelah menangguk untung besar dari penjualan propertinya - Banu dan Budi pun memilih untuk pensiun dini, mempercayakan uangnya pada fund management yang terpercaya, dan mengasingkan diri dari kebisingan Jakarta dengan membangun vila di Puncak dengan latar belakang pemandangan danau yang luas. Dan dari danau inilah cerita kesaktian dua pensiunan ini bermula.

Penasaran dengan cerita kesaktian mereka berdua yang menyebar di lantai bursa, Agus - salah seorang kolega Budi dan Banu di bisnis valas - memberanikan diri untuk memastikan rumor yang beredar dengan mengunjungi mereka di Puncak. Kedatangan Agus yang memang sudah sangat lama tidak berjumpa dengan Banu dan Budi pun disambaut dengan sangat hangat.

Setelah menginap semalaman, sampailah ketika matahari sudah mulai menyapa di bibir pagi, Banu dan Budi pun mengajak Agus untuk memancing di danau. Dan kesempatan inipun tidak disia-siakan oleh Agus. Tanpa ba bi bu, ajakan itu segera disambutnya dengan sahutan, " siapa takuuutt ..." Dan merekapun mulai memancing di danau dengan masing-masing menaiki sebuah sampan secara terpisah.

Jam mwnunjukkan pukul 09.30 ketikan tiba-tiba Banu berteriak, " Budi, Agus, gua laper nih. Yuk makan dulu yuk di saung ."
Agus diam saja tidak menjawab, tetapi Budi menjawabnya dengan lantang, " Ah lu Nu, berisik. Kalau mau makan, makan sendiri sana. Gua lagi asyik nih."
Mendengar jawaban itu, Banupun menjawab, " Oke kalau gitu, guwa makan duluan ya," sambil kemudian turun dari sampan dan berjalan diatas air danau.

Agus yang sedari tadi menunggu-nunggu momen ini kemudian terbelalak matanya. Sambil bengong pikirannya berujar, " gila si Banu. Ternyata dia emang bener-bener sakti.

Setelah selesai makan, Banupun kembali ke sampannya dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Dia menceburkan ke danau dan berjalan diatas danau tanpa bisa tenggelam.

Ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang, giliran Budi yang mulai merasa lapar. Budipun mengajak Banu dan Agus untuk menemaninya makan. Banupun menjawab, " Elo gimana sih Bud. Guwa kan udah makan tadi. Tahu tuh dengan Agus. Dia kan belum makan dari tadi."
Agus yang masih menyimpan penasaran dengan kesaktian Budi memilih untuk menggelengkan kepala tanda belum mau makan.

Karena ajakannya tidak mendapatkan respon yang baik, akhirnya Budipun segera turun dari sampan dan kembali berjalan di atas danau persis seperti apa yang dilakukan oleh Banu sebelumnya. Tanpa ragu Budipun berjalan diatas danau menuju saung. Dan kembali Agung dibuat bengong oleh tingkah Budi, yang kelihatannya semakin yakin bahwa Banu dan Budi memang benar-benar sakti.

Dan setelah selesai makan, Budipun kembali ke sampan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, berjalan diatas danau tetapi tidak tenggelam.

Ketika jam menunjukkan pukul 12.00, giliran Agus yang mulai merasa lapar. Aguspun mengajak Banu dan Budi buat makan siang. Belum lagi Banu dan Budi selesai menjawab, Aguspun segera memotong, " baik-baik, guwa tahu. Guwa harus makan sendiri karena elu berdua sudah makan."

Karena gengsi melihat Banu dan Budi yang menuju saung dari sampan dengan cara berjalan diatas danau, maka Aguspun memberanikan diri untuk melakukan hal yang sama. Dan ketika langkah Agus sudah mengenai permukaan danau, tiba-tiba terdengar bunyi ... " byurrrr byuuurrr." Ternyata Agus tercebur ke danau karena dia tidak bisa berjalan diatas danau.

Melihat kejadian itu, buru-buru Budi menyalahkan Banu. " Elu sih Nu yang mulai duluan. Pakai berjalan segala diatas air," sahut Budi.
Banupun tak mau begitu saja disalahkan, " Elo juga tuh Bud, pakai ikutan guwa segala. Berjalan di atas danau."

Sambail membawa Agus ke tepian, akhirnya Banu dan Budi mulai introspeksi diri dan menyesali perbuatannya dengan mengatakan, " mestinya kita kasih tahu dulu sama Agus, dimana kita bikin tonggak-tonggak beton bust kits berjalan. Biar dia juga berjalan di atas tonggak beton itu."

...................................................................

Dalam kehidupan nyata, sering kita melihat ada orang yang kelihatan begitu hebat atau beruntung. Apa saja yang dilakukannya selalu berbuah kesuksesan. Hampir-hampir kita tidak pernah mendapatinya dalam kegagalan. Saking anehnya peralaku kesuksesannya, sering kita menganggap bahwa si orang tersebut memiliki kekuatan lebih - semacam kesaktian - yang tidak dimiliki orang lain. Atau kita sering menilai bahwa tentu ada kekuatan magis yang menyertai kesuksesan orang tersebut.

Dalam dunia jual menjual ada Joe Girard yang fenomenal dan tercatat di Guiness Book of Record sebagai penjual tersukses. Atau ada orang muda macam Brad Sugar yang kegemarannya membeli perusahaan yang bangkrut - sehingga sering dia beli dengan $ 0 - tetapi selang beberapa waktu perusahaan tersebut jadi boom dengan harga saham melangit. Atau di Indonesia sendiri ada semacam Pa Tung yang setiap kali ngadain seminar pesertanya selalu membludak. Dan tentu rupiah atau bahkan dolarpun mengalir dengan deras.

Sebenarnya kalau kita tahu apa-apa saja yang menjadikan mereka sukses - seperti kalau Agus tahu dimana letak tonggak beton yang digunakan oleh Banu dan Budi untuk berjalan di atas danau - daqn kita bisa melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, maka kesusksesan bisa menjadi milik siapa saja. Karena pada dasarnya apabila seseorang bisa mendapatkan kesuksesan dalam bidang yang ditekuni, maka kita semua bisa belajar untuk melakukan hal-hal yang menjadikan orang tersebut sukses.

Persoalannya adalah bahwa kebanyakan kita tidak tahu banyak hal yang menjadikan orang semacam Pa Tung sukses. Kalaupun tahu, barangkali kita belum melakukan apa yang kita tahu. Kalaupun sudah melakukan barangkali kita kurang memiliki presistensi.

Tugas kita hanyalah memastikan bahwa semua prasarat untuk sukses terpenuhi. Adapun tentang anugerah kesuksesan itu semata-mata tugas Allah. Kalaulah kesuksesan belum menjadi bagian hidup kita, maka tentulah ada bagian hak Allah yang belum kita tunaikan yang menjadikan-Nya belum berkenan memberikan bagian kesuksesan buat kita semua.

Wallahu a'lam




Saturday, September 06, 2008

Sejenak ......

Dagu berjenggot tandanya ikhwan
Memakai jilbab itulah akhwat.....

Kalau Ramadhan ibadah tak terasa ringan
Sungguhlah merugi dunia akhirat .....

............................


Handphone GSM jaringan luas
Handphone CDMA biaya murah

Ibadah Ramadhan janganlah malas
Kiranya mendapat ampunan Allah ....



Wallahu a'lam

Friday, August 29, 2008

Peta Bukanlah Teritori

Pada paruh akhir tahun 1999, ruang aula fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta terlihat penuh sesak. Sebagian besar pria yang hadir mengenakan baju koko yang rapi dan sebagian lainnya mengenakan kemeja kasual. Dan hamper semua kaum hawa yang hadir mengenakan jilbab yang semakin menegaskan identitas Islam mereka. Ya, hari itu ada seminar tentang Membangun Keluarga Bahagia di kalangan para da’I (penda’wah Islam) di Solo dan sekitarnya. Memang tidak mewakili semua lapisan masyarakat penggerak da’wah Islam di Solo dan sekitarnya, tapi setidaknya kehadiran mereka bisa dijadikan referensi tentang potret para juru da’wah tersebut.

Sebagai sebuah seminar, sebenarnya acara semacam itu tidaklah istimewa. Entah sudah berapa banyak seminar semacam itu diadakan di sekitar Solo, terutama di lingkungan kampus. Mulai dari persiapan pranikah, sewaktu nikah dan paska nikah. Yang menjadikan seminar kali ini istimewa barangkali adalah karena seminar itu diadakan sebagai tindak lanjut dari hasil survey tentang kehidupan rumah tangga para da’i. Dan peserta seminar kali ini adalah juga audien yang disurvey oleh sebuah Yayasan Sosial, dan saya bersama istri adalah satu dari banyak keluarga yang disurvei. Rencananya hasil survey itu akan dibedah di forum seminar tersebut.


Diantara yang bikin heboh forum seminar tersebut adalah hasil yang menyebutkan bahwa 30 % audien menyatakan kehidupan rumah tangganya tidak atau belum bahagia. Sekali lagi bahwa 30% da’I yang disurvei menyatakan bahwa kehidupan rumah tangganya tidak atau kurang bahagia. Bagi masyarakat umum ini wajar adanya. Menjadi heboh karena audiennya adalah para da’I yang nota bene adalah penyeru kebaikan. Kalau para penyerunya mengalami ketidakbahagiaan dalam kehidupan rumahtangganya, bagaimana dengan masyarakat yang diseru.


Seorang teman yang setelah seminar selesai kemudian mengakui bahwa dia adalah termasuk 1 dari keluarga yang tidak atau kurang bahagia mengatakan bahwa istrinya tidak seperti harapan awal yang dibayangkan ketika memutuskan untuk menikah. Dimatanya, istrinya banyak menyimpan ketidaksempurnaan yang menurutnya “parah”. Masih menurut teman tersebut, istrinya banyak membantah pandangan dan permintaannya. Dan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga – katanya – teman tadi memilih diam. Menurutnya lagi, istrinya juga kurang perhatian pada tema perbincangan atau diskusi yang dilontarkannya. Istrinya lebih asyik dengan urusannya sendiri, lanjutnya. Dan yang parahnya lagi – teman tadi sangat bersemangat menyebutkannya – bacaan Al Qur’annya parah. Seperti hendak mencari pembenaran terhadap ledakan perasannya, teman sayapun meminta respon saya.


Jujur, awalnya saya kaget. Bagaimana tidak, teman tadi yang tidak lain adalah mantan pentolan kegiatan kamahasiswaan Islam di UNS belum lama menikah. Pada acara walimatul ‘ursy pernikahannya, wajah cerianyapun selalu mengembang menyambut kehadiran tamu. Tapia pa mau dikata, dia mengatakan semua dengan penuh antusias.


Melihat teman tadi penasaran menunggu responku, sayapun mulai mengurai jawaban. Mas Hadi – tentu bukan nama yang sebenarnya – cerita begini ke saya maksudnya apa ya. Apa mau cari dukungan supaya lebih yakin bahwa istri njenengan – kamu, dalam bahasa jawa yang halus – itu memang nggak beres dan rumah tangga njenengan tambah runyam. Atau njenengan kepingin memperbaiki kehidupan rumah tangga njenengan dan hidup lebih bahagia. Dengan bangga Mas Hadipun menjawab, ya jelas supaya saya dan istri lebih bahagia. Apa kata teman-teman kalau kelaurgaku yang baru beberapa bulan jadi lebih runyam.


Seketika saya ambil ballpoint dari saku. Saya perlihatkan pada Mas Hadi dengan sudut pandang lurus dimana satu ujungnya persis di depan mata Mas Hadi dan ujung yang lain berada di titik jauh pandangannya membentuk sudut 180 derajat. Saya tanyakan kepadanya, “ balpoin ini kelihatan seperti apa Mas ?” Dan dijawabnya dengan mantap, “ titik”. Lalu saya putar 90 derajat dan saya tanyakan lagi, “ sekarang kelihatan seperti apa Mas ?” Masih dengan mantap dijawabnya, “garis”. Berulang kali saya putar bolak balik 90 derajat sehingga balpoin itu berganti-ganti antara titik dan garis.

Sambil berjalan saya katakan, bendanya satu yaitu balpoin. Yang membedakannya antara titik dan garis hanyalah sudut pandangnya. Orang bisa berantem demi mempertahankan keyakinannya bahwa itu titik atau garis, padahal bendanya satu yaitu balpoin. Begitu kita mau memutar sudut pandangnya 90 derajat, maka keyakinan kita akan titik berubah menjadi garis dan sebaliknya. Dan kita tidak perlu memupuk energy permusuhan kita.


Seperti kita melihat peta pulau Jawa misalnya. Peta itu bukanlah kenyataan teritoial yang sebenarnya. Gambaran jalan dip eta berbeda dengan kenyataan jalan aslinya. Penggambaran gunung pada peta juga berbeda dengan gunung pada kenyataannya. Jalan dan gunung yang ada di peta hanyalah penafsiran si pembuat peta terhadap jalan dan gunung yang sebenarnya. Penafsiran dan penggambaran yang dilandasi oleh informasi tentang jalan dan gunung tersebut yang diterima oleh si pembuat peta. Ketika pembuat peta melakukan perubahan gambar pada petanya, itu tidak menjadikan serta merta juga terjadi perubahan pada realita teritorialnya. Atau apabila terjadi perubahan kondisi alam karena sebuah bencana semacam gempa bumi atau longsor, itu juga tidak serta merta merubah gambar alam yang ada pada peta. Jadi peta pulau Jawa hanyalah penafsiran si pembuat peta terhadap realita territorial pulau Jawa yang sebenarnya. Dan bukanlah kenyataan yang sebenarnya pada pulau Jawa.


Seperti menahan kebingungan mendengarkan penjelasan saya tentang peta, sayapun langsung menukik ke pokok persoalan. Sayapun melanjutkan bahwa, sering “kenyataan” yang kita yakini kebenarannya sebenarnya terkadang hanyalah penafsiran kita terhadap “kenyataan” yang sebenarnya terjadi dan bukan kenyataan yang sebenarnya. Penafsiran itu bisa benar, tetapi sering juga keliru. Sehingga kita hendaknya tidak menjadikan penafsiran kita sebagai satu-satunya kebenaran yang kita “yakini” sebelum kita mencoba menengok “kebenaran” lain yang lahir dari perbedaan sudut pandang.


Dalam kasus Mas Hadi, kenyataan tentang istri yang njenengan “yakini” sebagai banyak menyimpan ketidaksempurnaan, bisa jadi itu hanyalah “penafsiran” njenengan terhadap realita yang sebenarnya tentang istri njenengan. Penafsiran njenengan bisa benar, tetapi sebagian besarnya sering salah. Penafsiran njenengan lahir karena informasi-informasi sepihak yang masuk ke dalam pikiran dan akhirnya njenengan yakini sebagai kenyataan yang sebenarnya. Njenengan sangat meyakini itu. Njenengan melihat balpoin dari satu sudut pandang saja.


Keyakinan njenengan akan kenyataan yang sebenarnya tentang istri njenengan akan berubah ketika njenengan mau mencoba membuat penafsiran baru akan realita yang sebenarnya tentang istri. Njenengan hanya butuh untuk mengumpulkan informasi yang kemudian diyakini oleh istri njenengan sebagai kebenaran. Informasi ini pada akhirnya akan melahirkan keyakinan baru. Dan keyakinan baru ini akan memunculkan tafsiran baru. Tafsiran baru terhadap keyakinan terhadap realita yang baru tentu akan melahirkan respon yang sama sekali baru. Balpoin yang diputar dengan sudut 90 derajat akan merubah titik menjadi garis. Dan garis sama sekali berbeda dengan titik.


Jadi kita hanya butuh untuk mencoba membuat sudut pandang yang berbeda tentang pasangan hidup kita, lebih dari sekedar sudut pandang kita sendiri yang selama ini kita yakini kebenarannya. Kita hanya butuh untuk merubah tafsiran kita terhadap realita yang kita yakini tentang istri kita. Kita hanya perlu untuk merubah peta kita tentang pasangan hidup kita. Dan keyakinan baru kita terhadap realita yang sesungguhnya terhadap istri kita akan merubah segalanya.

Seiring dengan seuntai senyum yang mulai merekah dari wajah Mas Hadi, diapun berbegas mengucapkan terima kasih dan berbegas pulang. Semoga Mas Hadi telah menemukan peta barunya tentang istri yang dihari pernikahannya sangat dibangga-banggakannya. Semoga …..

Wallahu a’lam.