Friday, November 14, 2008

Let Us Confirm

Aku menjadi semakin salah tingkah. Teman-teman yang biasanya memberi sambutan hangat setiap kami ketemu, tiba-tiba memperlihatkan perilaku yang aneh. Tatapan mereka penuh curiga, senyum mereka penuh makna kesinisan. Jabat tangan mereka hambar tanpa kehangatan.

“Ada apa ya dengan mereka,” demikian gumamku kebingungan. Sambil berjalan menuju kelas, sesekali kulihat mereka mencuri-curi kesempatan menggunjingkan sesuatu di belakangku.


“Atau jangan-jangan ada yang keliru dengan aku. Tapi apa ya .... ,” tanyaku pada diri sendiri sambil kugaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.


Hingga menjelang bel pulang sekolah berbunyi tidak ada satupun dari mereka – teman-teman akrabku – yang ngomong ada masalah apa denganku. Aku menjadi semakin salah tingkah karena perubahan sikap teman-teman yang sangat drastis.


.........................................................................


Sikap teman-teman sungguh membuatku tertekan, stress. Kalau saja aku tahu apa masalahnya, mungkin aku bisa menyelesaikannya. Tapi mereka memilih diam, seperti aku bukan lagi bagian dari mereka.


Padahal satu setengah tahun terakhir adalah masa-masa terindah dalam usia remajaku. Aku dipertemukan dengan teman-teman SMA yang diusia remajanya yang penuh gelora justru lebih memilih untuk menjaga diri dari semua yang berpotensi merusak.


Kami menjadi seperti tak terpisahkan. Setiap pertemuan kami hiasi dengan jabat tangan yang erat dan hangat. Tak pernah ketinggalan peluk erat ukhuwah mewarnai setiap perjumpaan dan perpisahan kami. Doa kebaikan untuk teman yang lain tidak pernah kami lewatkan dalam setiap sholat kami.


Rona wajah kami lebih ddidominasi ekspresi keceriaan dan optimisme. Senyum renyah yang tersungging adalah konsumsi harian bibir kami. Dan tutur kata santun penuh nilai adalah bahasa keseharian pergaulan kami.


............................................................................


Tiba-tiba aku tersadar. Itu semua adalah lamunan indah masa lalu yang telah usai. Sekedar membayangkan saja keindahan masa lalu kemudian membandingkannya begitu saja dengan keadaan sekarang juga bukanlah sikap yang bijak, karena justru akan menjadikan hati dan fikiran ini sakit.


“Aku harus mengembalikan masa-masa indah itu,” demikian anganku memecah lamunan. “Aku harus cari tahu ada masalah apa denganku, untuk kemudian sebisa mungkin kuperbaiki agar keindahan ukhuwah yang selama ini kurasakan bisa hadir kembali,” ucapku dalam hati untuk memperkuat keyakinan.


............................................................................


Kulihat Ali – temanku di Rohis SMA – sudah selesai melakukan sholat dhuha. Setelah beberapa doa dibacakan, kuberanikan diri untuk mendekati Ali. Awalnya dia seperti hendak menghindar, tetapi akhirnya mau menerima kehadiranku.


“Akh Ali, sebenarnya ada apa sih dengan aku ?” tanyaku langsung tanpa harus merinci maksudnya karena aku yakin dia sudah paham.


“Antum berbuat maksiat, dan teman-teman benci melihat antum ,” sambarnya tanpa ekspresi.


“Hah ... aku bermaksiat .... ?” tanyaku kaget. Masih dengan kekagetan, akupun mencoba mengklarifikasi masalahnya. “Ya, tapi maksiat apa. Tolong dong bilang ?”


“Antum berpacaran dengan seorang akhwat. Akh Joko melihat antum boncengan naik motor malam Rabu kemarin jam 11 malam di Jl. Sultan Agung ? sambung Ali melanjutkan.


“Akh Joko menyampaikan itu pada kami semua ..,” sambungnya lagi. Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengarkan cerita Ali.


.........................................................................


Sabtu siang itu ruang mushola sekolah sudah penuh sesak. Teman-teman Rohis sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarkan jawaban dari aku tentang tuduhan pacaran itu.


“Malam itu ada seorang ibu muda mendapati anaknya yang baru berusia 4 bulan sakit. Panas badannya sangat tinggi, mukanya membiru dan tubuhnya kejang-kejang. Sementara suaminya sedang di luar kota,” ceritaku sambil menahan nafas panjang.


“Aku yang tahu akan kondisi yang darurat itu tidak mungkin membiarkan saja. Aku ambil sepeda motorku. Kuboncengkan ibu muda itu dan anaknya untuk kubawa ke rumah sakit,” sejenak kemudian aku terdiam.


“Terus gimana dengan anak itu. Apa dia tertolong ?” tanya teman-teman penuh semangat.


“Alhamdulillah, Allah masih memberikan pertolongan. Kata dokter, telat 30 menit saja keadaan bisa fatal ...,” sambungku sambil tak terasa mataku mulai berkaca-kaca.


“Dan antum semua tahu, siapa ibu muda itu ?”tanyaku. “Ibu muda itu adalah kakakku sendiri.”


Dan teman-temanpun berhamburan mendekatiku memohon maaf. Peluk dan linangan air mata haru mewarnai Sabtu siang itu.


....................................................................


Seringkali karena kebencian kita pada suatu kaum menjadikan kita tidak bisa berbuat adil pada kaum tersebut. Walaupun mulut kita mengatakannya sebagai ekspresi rasa cinta.


Kita menjadi mudah menjatuhkan pilihan untuk bersikap “mendzolimi” orang lain tanpa sebelumnya didahului pemikiran panjang. Kesimpulan-kesimpulan yang terbangun dari asumsi-asumsi sepihak seringkali lebih mendominasi daripada upaya untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.


Seandainya dalam banyak hal kita juga mau mendengarkan, melihat dan memahami sekumpulan fakta dari sudut yang berbeda, sungguh fenomena “penzholiman” itu semestinya bisa terhindarkan. Sungguh penilaian sepihak yang terkadang banyak salahnya itu tidak akan menjadi budaya.


Membudayakan Possitive Thinking dan Possitive Feeling (Khusnudzdzon) – dan itu adalah syariat Islam – dengan membuat seribu satu sudut pandang untuk menafikan penilaian awal yang negatif terhadap saudara kita, adalah suatu keharusan. Tidak bisa tidak ini harus dibudayakan. Budaya ini perlu ditumbuhkan untuk mereduksi adanya kemungkinan masuknya kepentingan orang-orang yang menghendaki hancurkan ukhuwah dan persatuan yang erat diantara sesama saudara.


Kalaupun toh belum ketemu juga sisi positifnya setelah seribu satu sudut pandang digelar, maka hal paling bijak setelah itu adalah dengan melakukan konfirmasi (tabayyun) langsung dari sumber beritanya.


Seorang teman mengatakan bahwa kalaupun dikonfirmasi maka tidak merubah apapun. Orangnya susah dikonfirmasi. Dan kami sudah yakin bahwa informasinya valid karena keluar dari orang yang dipercaya.


Masalahnya adalah, tabayyun hanya akan bisa dilakukan dengan baik oleh orang-orang yang mengawali segalanya dengan semangat khusnudzdzon. Tabayyun adalah mediasi untuk mencari kebenaran berita serta fakta, dan bukan mencari pengakuan dosa dari sumber berita. Karena mencari pengakuan dosa lebih dilandasi oleh prasangka buruk. Dan Prasangka buruk lebih dekat pada kesalahan, pada pendzoliman.


Pikiran dan hati yang positif akan membuka kanal-kanal tabayyun. Komparasi informasi dan fakta yang dilandasi oleh niatan dan perilaku baik, pada akhirnya insya Allah akan melahirkan hasil akhir yang baik.


Saat tabayyun – yang dilandasi oleh pikiran dan hati yang positif – terjadi, maka siap-siaplah untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya. Bukan mendapati diri kita sebagai pemenang yang berarti mendominasi arena kebenaran, serta mendapati orang lain sebagai orang kalah dan itu berarti dia adalah pihak yang paling bersalah.


Ya, mari mengedepankan Khusnudzdzon dan Tabayyun untuk setiap persoalan yang menimpa saudara kita.


Wallahu a’lam



No comments:

Post a Comment