Friday, August 29, 2008

Peta Bukanlah Teritori

Pada paruh akhir tahun 1999, ruang aula fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta terlihat penuh sesak. Sebagian besar pria yang hadir mengenakan baju koko yang rapi dan sebagian lainnya mengenakan kemeja kasual. Dan hamper semua kaum hawa yang hadir mengenakan jilbab yang semakin menegaskan identitas Islam mereka. Ya, hari itu ada seminar tentang Membangun Keluarga Bahagia di kalangan para da’I (penda’wah Islam) di Solo dan sekitarnya. Memang tidak mewakili semua lapisan masyarakat penggerak da’wah Islam di Solo dan sekitarnya, tapi setidaknya kehadiran mereka bisa dijadikan referensi tentang potret para juru da’wah tersebut.

Sebagai sebuah seminar, sebenarnya acara semacam itu tidaklah istimewa. Entah sudah berapa banyak seminar semacam itu diadakan di sekitar Solo, terutama di lingkungan kampus. Mulai dari persiapan pranikah, sewaktu nikah dan paska nikah. Yang menjadikan seminar kali ini istimewa barangkali adalah karena seminar itu diadakan sebagai tindak lanjut dari hasil survey tentang kehidupan rumah tangga para da’i. Dan peserta seminar kali ini adalah juga audien yang disurvey oleh sebuah Yayasan Sosial, dan saya bersama istri adalah satu dari banyak keluarga yang disurvei. Rencananya hasil survey itu akan dibedah di forum seminar tersebut.


Diantara yang bikin heboh forum seminar tersebut adalah hasil yang menyebutkan bahwa 30 % audien menyatakan kehidupan rumah tangganya tidak atau belum bahagia. Sekali lagi bahwa 30% da’I yang disurvei menyatakan bahwa kehidupan rumah tangganya tidak atau kurang bahagia. Bagi masyarakat umum ini wajar adanya. Menjadi heboh karena audiennya adalah para da’I yang nota bene adalah penyeru kebaikan. Kalau para penyerunya mengalami ketidakbahagiaan dalam kehidupan rumahtangganya, bagaimana dengan masyarakat yang diseru.


Seorang teman yang setelah seminar selesai kemudian mengakui bahwa dia adalah termasuk 1 dari keluarga yang tidak atau kurang bahagia mengatakan bahwa istrinya tidak seperti harapan awal yang dibayangkan ketika memutuskan untuk menikah. Dimatanya, istrinya banyak menyimpan ketidaksempurnaan yang menurutnya “parah”. Masih menurut teman tersebut, istrinya banyak membantah pandangan dan permintaannya. Dan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga – katanya – teman tadi memilih diam. Menurutnya lagi, istrinya juga kurang perhatian pada tema perbincangan atau diskusi yang dilontarkannya. Istrinya lebih asyik dengan urusannya sendiri, lanjutnya. Dan yang parahnya lagi – teman tadi sangat bersemangat menyebutkannya – bacaan Al Qur’annya parah. Seperti hendak mencari pembenaran terhadap ledakan perasannya, teman sayapun meminta respon saya.


Jujur, awalnya saya kaget. Bagaimana tidak, teman tadi yang tidak lain adalah mantan pentolan kegiatan kamahasiswaan Islam di UNS belum lama menikah. Pada acara walimatul ‘ursy pernikahannya, wajah cerianyapun selalu mengembang menyambut kehadiran tamu. Tapia pa mau dikata, dia mengatakan semua dengan penuh antusias.


Melihat teman tadi penasaran menunggu responku, sayapun mulai mengurai jawaban. Mas Hadi – tentu bukan nama yang sebenarnya – cerita begini ke saya maksudnya apa ya. Apa mau cari dukungan supaya lebih yakin bahwa istri njenengan – kamu, dalam bahasa jawa yang halus – itu memang nggak beres dan rumah tangga njenengan tambah runyam. Atau njenengan kepingin memperbaiki kehidupan rumah tangga njenengan dan hidup lebih bahagia. Dengan bangga Mas Hadipun menjawab, ya jelas supaya saya dan istri lebih bahagia. Apa kata teman-teman kalau kelaurgaku yang baru beberapa bulan jadi lebih runyam.


Seketika saya ambil ballpoint dari saku. Saya perlihatkan pada Mas Hadi dengan sudut pandang lurus dimana satu ujungnya persis di depan mata Mas Hadi dan ujung yang lain berada di titik jauh pandangannya membentuk sudut 180 derajat. Saya tanyakan kepadanya, “ balpoin ini kelihatan seperti apa Mas ?” Dan dijawabnya dengan mantap, “ titik”. Lalu saya putar 90 derajat dan saya tanyakan lagi, “ sekarang kelihatan seperti apa Mas ?” Masih dengan mantap dijawabnya, “garis”. Berulang kali saya putar bolak balik 90 derajat sehingga balpoin itu berganti-ganti antara titik dan garis.

Sambil berjalan saya katakan, bendanya satu yaitu balpoin. Yang membedakannya antara titik dan garis hanyalah sudut pandangnya. Orang bisa berantem demi mempertahankan keyakinannya bahwa itu titik atau garis, padahal bendanya satu yaitu balpoin. Begitu kita mau memutar sudut pandangnya 90 derajat, maka keyakinan kita akan titik berubah menjadi garis dan sebaliknya. Dan kita tidak perlu memupuk energy permusuhan kita.


Seperti kita melihat peta pulau Jawa misalnya. Peta itu bukanlah kenyataan teritoial yang sebenarnya. Gambaran jalan dip eta berbeda dengan kenyataan jalan aslinya. Penggambaran gunung pada peta juga berbeda dengan gunung pada kenyataannya. Jalan dan gunung yang ada di peta hanyalah penafsiran si pembuat peta terhadap jalan dan gunung yang sebenarnya. Penafsiran dan penggambaran yang dilandasi oleh informasi tentang jalan dan gunung tersebut yang diterima oleh si pembuat peta. Ketika pembuat peta melakukan perubahan gambar pada petanya, itu tidak menjadikan serta merta juga terjadi perubahan pada realita teritorialnya. Atau apabila terjadi perubahan kondisi alam karena sebuah bencana semacam gempa bumi atau longsor, itu juga tidak serta merta merubah gambar alam yang ada pada peta. Jadi peta pulau Jawa hanyalah penafsiran si pembuat peta terhadap realita territorial pulau Jawa yang sebenarnya. Dan bukanlah kenyataan yang sebenarnya pada pulau Jawa.


Seperti menahan kebingungan mendengarkan penjelasan saya tentang peta, sayapun langsung menukik ke pokok persoalan. Sayapun melanjutkan bahwa, sering “kenyataan” yang kita yakini kebenarannya sebenarnya terkadang hanyalah penafsiran kita terhadap “kenyataan” yang sebenarnya terjadi dan bukan kenyataan yang sebenarnya. Penafsiran itu bisa benar, tetapi sering juga keliru. Sehingga kita hendaknya tidak menjadikan penafsiran kita sebagai satu-satunya kebenaran yang kita “yakini” sebelum kita mencoba menengok “kebenaran” lain yang lahir dari perbedaan sudut pandang.


Dalam kasus Mas Hadi, kenyataan tentang istri yang njenengan “yakini” sebagai banyak menyimpan ketidaksempurnaan, bisa jadi itu hanyalah “penafsiran” njenengan terhadap realita yang sebenarnya tentang istri njenengan. Penafsiran njenengan bisa benar, tetapi sebagian besarnya sering salah. Penafsiran njenengan lahir karena informasi-informasi sepihak yang masuk ke dalam pikiran dan akhirnya njenengan yakini sebagai kenyataan yang sebenarnya. Njenengan sangat meyakini itu. Njenengan melihat balpoin dari satu sudut pandang saja.


Keyakinan njenengan akan kenyataan yang sebenarnya tentang istri njenengan akan berubah ketika njenengan mau mencoba membuat penafsiran baru akan realita yang sebenarnya tentang istri. Njenengan hanya butuh untuk mengumpulkan informasi yang kemudian diyakini oleh istri njenengan sebagai kebenaran. Informasi ini pada akhirnya akan melahirkan keyakinan baru. Dan keyakinan baru ini akan memunculkan tafsiran baru. Tafsiran baru terhadap keyakinan terhadap realita yang baru tentu akan melahirkan respon yang sama sekali baru. Balpoin yang diputar dengan sudut 90 derajat akan merubah titik menjadi garis. Dan garis sama sekali berbeda dengan titik.


Jadi kita hanya butuh untuk mencoba membuat sudut pandang yang berbeda tentang pasangan hidup kita, lebih dari sekedar sudut pandang kita sendiri yang selama ini kita yakini kebenarannya. Kita hanya butuh untuk merubah tafsiran kita terhadap realita yang kita yakini tentang istri kita. Kita hanya perlu untuk merubah peta kita tentang pasangan hidup kita. Dan keyakinan baru kita terhadap realita yang sesungguhnya terhadap istri kita akan merubah segalanya.

Seiring dengan seuntai senyum yang mulai merekah dari wajah Mas Hadi, diapun berbegas mengucapkan terima kasih dan berbegas pulang. Semoga Mas Hadi telah menemukan peta barunya tentang istri yang dihari pernikahannya sangat dibangga-banggakannya. Semoga …..

Wallahu a’lam.

Friday, August 08, 2008

Believe In God (Part Two)

Seorang teman masih saja tidak bisa memahami ketika secara tiba-tiba saya mengundurkan diri dari jabatan strategis saya di salah satu anak perusahaan penerbitan terkemuka. Baginya apa yang saya lakukan tidak lebih dari sebuah tindakan bodoh dan susah untuk dicarikan argumen pembenarannya.


Baginya posisi mapan dan salary menawan lebih dari cukup untuk menjadikan saya mestinya bertahan dan meneruskan karir lapang yang masih panjang. Belum lagi ditunjang dengan kedekatan saya sama direktur. Lengkap sudah kondisi ideal yang diharapkan oleh para pekerja. Barangkali begitu pikirnya.


Setelah dicecar dengan banyak pertanyaan yang tak kunjung reda, saya hanya bisa mengatakan pandangan-pandangan saya.


Ada banyak hal yang menjadikan saya memutuskan memilih mundur ketika prestasi kerja saya justru sedang bagus.


Pertama, saya merasa sudah tidak ada tantangan lagi dalam bekerja. Tidak adanya tantangan baru memunculkan kondisi dimana saya tidak terpacu untuk menjadi lebih kreatif. Saya akan kehilangan sebagian hakikat kemanusiaan saya, menjadi lebih kreatif untuk menghasilkan kreasi-kreasi baru. Kemandegan kreatifitas bagi saya akan berujung pada kemandegan kehidupan itu sendiri. Dan saya tidak mau menghentikan kehidupan saya.


Kedua, sudah tidak ada lagi kecocokan dalam pola kepemimpinan antara saya dengan pimpinan. Sudah berbagai cara saya coba lakukan untuk menemukan titik temu, tetapi agaknya tidak juga kunjung muncul solusi. Justru kemudian melahirkan jurang konflik yang semakin lebar. Hubungan baik persaudaraan yang telah terbangun jauh sebelum saya duduk di posisi saya, justru menjadi runyam karena hubungan kerja yang ada. Dan saya memilih untuk mundur dari jabatan saya demi meneruskan hubungan baik persaudaraan. Dengan tidak adanya hubungan kerja, saya berharap tidak ada lagi crash.


Mendengar penjelasan itu, teman saya sekali lagi mengatakan. “Saya tetap tidak bisa memahami. Bagaimana dengan pekerjaan anda nantinya. Bukankah mencari kerja sekarang susah ?


Jawabku, “ Mencari pekerjaan sekarang memang susah, tetapi kalau mencari rizky Allah saya kira tidak susah. Allah maha kaya, kalau manusia mungkin malah punya hutang. Maka jangan minta kepada manusia, mintalah pada Allah yang maha kaya, maha memberi.”


Lanjutku, “ Allah sudah tetapkan jatah rizki untuk kita semua. Dan malaikat pembagi rizki dari Allah tidak akan pernah salah alamat membagi rizkiNya. Kalau jatah kita hari ini 3 juta misalkan, maka Allah akan turunkan persis segitu tanpa dikurangi.


Hari ini kita mendapatkan kucuran rizki dari kran tempat kerja kita yang sekarang. Apabila kran yang sekarang kita tutup, pasti akan Allah bukakan dari kran yang lainnya. Tugas kita hanya selalu membuka kran-kran yang lainnya hingga rizki Allah itu mengalir deras. Tugas kita hanya memastikan bahwa syarat terbukanya kran itu terpenuhi. Tugas kita hanya memastikan bahwa syarat turunnya rizky Allah itu terpenuhi. Tugas memastikan turunnya rizky bukanlah kewajiban kita. Itu adalah hak Allah untuk menentukan.


Terlalu mudah bagi Allah untuk membuka mata, telinga dan hati seseorang untuk menerima kompetensi dan proyeksi-proyeksi kita. Dan terlalu mudah bagi Allah untuk menggerakkan seluruh makhluknya di alam semesta raya ini untuk mendukung upaya-upaya kita membuka kran rizki. Dan kalau Allah sudah berkehendak, tidak ada satupun yang bisa menolaknya.”


Tiba-tiba teman saya menyela, “ tapi itu kan abstrak Pa Bambang. Kehendak Allah dan dukungan alam semesta itu kan hanya ada pada tataran keyakinan. Sedangkan upah, gaji dan penghasilan itu kan sesuatu yang lain. Dia nyata ...” katanya bersemangat.


“ Tapi keyakinan saya tidak hanya ada di kepala saya. Tapi sudah sampai di hati dan setiap ruas tulang-tulang tubuh saya. Saya bahkan sudah bisa merasakan terbukanya kran-kran rizky itu sekarang, jauh sebelum Allah benar-benar membukakan kran itu untuk saya. Dan Allah akan selalu bersama dengan keyakinan hambanya yang kuat.


Dan hari ini - 3 jam setelah saya maju untuk mengundurkan diri ke bos – baru saya saya mendapatkan telepon dari Telkomsel untuk penjajagan program pelatihan. Baru saja saya juga diminta konfirmasi dari teman-teman penggiat HPA untuk sesi pelatihan di beberapa kota hingga akhir bulan.

Dan yang lebih dahsyat, saya baru saja selesai ditelepon oleh teman lama yang hampir 10 tahun tidak ada kontak. Dia menanyakan kondisi saya. Saya ceritakan apa adanya. Dan ajaibnya, dia mengajak bertemu karena dia mendapatkan order dari sebuah perusahaan pertambangan untuk serial pelatihan bersambung yang diperuntukkan bagi karyawannya. Ada satu sesi yang dia belum menemukan orang yang pas. Dan menurutnya, saya adalah orang yang pas yang dia cari “, jawabku panjang lebar yang disambut anggukan kepala.

Wallahu a’lam


Confidence

DUG, tiba-tiba jantung ini serasa berhenti sejenak. 50 meter didepan saya sudah banyak petugas polisi lalu lintas memberhentikan lalu lalang sepeda motor di jalur lambat kawasan Prumpung Jakarta Timur. Operasi rutin ketertiban pengendara motor sedang berlangsung.


Sadar bahwa hari itu saya tidak bawa SIM, saya sedikit kaget. “ Bakal kena tilang nih”, gumamku. Setelah sejenak tetap jalan, akhirnya tibalah giliranku diberhentikan oleh petugas. Dan sapaan rutin petugaspun dimulai.


“ Selamat siang Pak”, sapa polisi.

“Bisa lihat surat-suratnya ?” lanjutnya.

“Boleh Pak, silakan”, jawab saya sembari membuka dompet untuk mengambil STNK dan SIM. Dan ketika melihat bahwa saya tidak membawa SIM maka polisi itupun bertanya, “SIMnya mana ?”

“Ya pak, SIM saya hilang. Jadi saya nggak bawa SIM”, sambung saya.

“Terus gimana nih, soalnya ini pelanggaran nggak bawa SIM”, tanya polisi lagi.

Dengan penuh percaya diri dan sedikit cuek saya bilang, “ loh koq bapak tanya saya terus gimana. Kan petugasnya bapak. Ikutin aturannya saja pak. Tilang saja ”.

“Bener nih tilang saja. Kalau disidang biaya dendanya 50 ribuan rupiah”, sambung polisi.

“Gak papa Pak. Saya siap koq, kan saya melanggar. Ya harus bertanggungjawab”, jawabku lagi.

“Tapi sidangnya masih lama pak, tanggal 29 Agustus. Apa nggak kelamaan ?” tambah pak polisi.

Mendengar itu sayapun menjawab,” Ya nggak papa Pak, sudah resiko. Saya sabar koq”.

Tiba-tiba melintas polisi yang lainnya yang dipanggil NDAN (komandan, red) sama polisi itu. Dan terjadilah dialog singkat diantara keduanya.

Polisi : Ndan, gimana nih. Ini minta ditilang saja katanya.

Komandan : Minta tilang ? Ya sudah bikinin aja disurat yang itu.

Polisi : Tapi nulisnya dimana ndan. Itu kan bukan surat tilang ?

Komandan : Kamu pikir sendiri ya, saya juga lagi banyak motor nih.

Sang komandanpun segera berlalu dan polisi itupun mondar-mandir seperti orang kebingungan.


Dan polisi itupun menemui saya lagi.

Polisi : Jadi bener nih di tilang saja ?

Saya : Kan tadi sudah bilang pak, ditilang saja.

Polisi : Sebentar ya pak. Saya ketemu komandan saya lagi.


Entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi terlihat cukup serius. Berkali-kali sang polisi itu membuka bolak balik surat yang mirip dengan gepokan nota. Setelah itu polisi itupun kembali menemui saya.


“Pak Bambang, jadi bapak bener minta ditilang saja ?” tanya polisi itu lagi. “Kalau memang begitu, ya sudah. Bapak silakan jalan saja. Ini STNK dan KTP bapak saya kembalikan”, sambungnya lagi.


Dalam ekspresi kebingungan yang sengaja saya buat-buat, sayapun mengkonfirmasi, “bener nih saya tidak jadi di tilang”, yang dijawab oleh Pak Polisi itu dengan anggukan kepala dengan seuntai senyum tersungging dari bibirnya.


...............................................

Satu hal yang saya yakini bahwa, berkata apa adanya (orang bilang jujur) dengan penuh percaya diri dan siap dengan segala resikonya pasti akan Allah balas dengan balasan yang baik.

Pada kasus nyata di atas, bisa saja saya memilih untuk bernegosiasi dengan polisi soal harga perdamaian. Toh dia sudah sebut angka tarif denda apabila saya ditilang yang secara tidak langsung seolah membuka penawaran harga dengan patokan tertinggi segitu.

Tapi sudahlah, negeri ini sudah begitu penuh dengan praktik-praktik kompromi lapangan yang seolah menguntungkan kedua pihak tetapi yang sebenarnya terjadi adalah mengkristalnya budaya korupsi kolusi. Saya ingin tidak meneruskan culture building semacam itu. Barangkali saya pernah melakukan itu, tetapi sekarang saya memilih untuk tidak melakukannya lagi.

Berdasarkan fakta lapangan tentang modus operasi-operasi kendaraan bermotor yang banyak berujung pada kesepakatan damai, saya meyakini bahwa fokusnya bukan pada penertiban lalu lintar. Tapi ada fokus lain yang secara implisit terrekam yaitu kesepakatan harga damai. Dan demi melihat itu saya memilih untuk ditilang.

Saya memang salah karena tidak membawa SIM. Tapi saya yakin bahwa menilang tidak akan memberikan keuntungan apapun bagi sang oknum polisi. Kalau saya keukeuh untuk minta ditilang, sangat mungkin sekali oknum polisi itu akan membiarkan saya jalan. Karena fokusnya bukan pada penertiban, tetapi dicapainya kesepakatan harga damai. Begitulah keyakinan saya.

Dan benar saja, rasa percaya diri saya yang dengan gagah mengakui kesalahan dan meminta terus untuk ditilang agaknya membuat polisi itu menjadi salah tingkah dengan pertanyaan tidak cerdas yang diulang-ulang.

Seperti pepatah yang belakangan sering muncul di televisi sebagai tag line kampanye Rizal Malarangeng bahwa IF THERE IS A WILL, THERE IS A WAY. Bila ada kemauan disitu ada jalan. Bila kita sungguh-sungguh dengan pekerjaan kita, Allah akan tunjukkan jalannya.


Wallahu a’lam.



Thursday, August 07, 2008

Believe In God


Hari menjelang sore ketika bus Dewi Sri yang saya tumpangi dari Jakarta mulai memasuki perbatasan Jawa Barat - Jawa Tengah di daerah Losari Brebes. Bergantian dengan penumpang yang turun selepas gapura Jawa Tengah, naiklah seorang pengamen.

Pada dasarnya tidak ada yang aneh pada pengamen yang satu ini. Lelaki yang saya kira berumur 20 tahunan ini seperti kebanyakan pengamen, menjual suaranya untuk mendapatkan imbalan rupiah dari kemurahan hati penumpang bis.

Semua berjalan seperti biasa ketika sebuah bis dinaiki oleh pengemis. Yang menjadikan sedikit berbeda - menurut saya ini hebat sekali - adalah ketika hampir setiap penumpang menjulurkan tangan kanannya untuk memberikan sedikit rupiah yang ada di sakunya kepada sang lelaki pengamen tersebut.

Tapi yang paling istimewa dari penampilan sang pengemis - barangkali ini adalah kekuatan inti dari sang pengemis yang menjadikannya mudah mendapatkan kemurahan hati penumpang - adalah bahwa dia adalah seorang yang BISU TULI alias tidak bisa menyanyi.

Dan sayapun dibikin geleng-geleng melihatnya. Sepanjang dia bernyanyi, syairnya tidak pernah berubah HA HU HA HU yang sesekali diberikan ornamen panjang pendek irama dan tidak lupa genjrang-genjreng tak beraturan - karena dia sendiri tidak bisa mendengar irama gitarnya - gitar butut yang selalu ditentengnya.

Sembari saya geleng-geleng, sang pengamenpun turun dari bis dengan senyum yang sangat mengembang sambil mengatakan Ha Hu Ha Hu lagi yang mungkin maksudnya adalah : terima kasih semuanya, semoga selamat sampai tujuan.

........................................

Allah memang sudah menegaskan dalam kitab suciNya bahwa pada setiap makhluk melata yang hidup di bumi ini sudah disiapkan jatah rizky untuk menghidupi kehidupannya. Dan itu semua akan dibenarkan dengan upaya nyata dari makhluk tersebut untuk mendapatkannya.

Menjadi tidak penting membicarakan cara apa yang kita gunakan untuk mendapatkannya. Yang lebih penting dari itu adalah segera melakukan apa yang tersirat dalam pikiran kita yang sudah diyakini kebenarannya. Karena melakukan apa yang terpikirkan jauh lebih produktif daripada memikirkan untuk melakukan apa.

Kalau pola memikirkan akan melakukan apa dianut oleh pengamen tadi, maka dia tidak punya peluang mendapatkan rizky karena dia tidak akan menemukan cara yang baik apalagi hebat lewat mengamen. Karena mengamen membutuhkan modal utama suara yang indah. Sedangkan dia, jangankan indah ... sekedar suara untuk mengucapkan huruf demi huruf syair lagupun dia tidak punya.

Tetapi karena sang pengemis lebih yakin pada pola melakukan apa yang terpikirkan, maka diapun mendapatkan hasilnya. Dia hanya perlu yakin bahwa tugas manusia hanya memastikan bahwa syarat turunnya rizky terpenuhi, yaitu berbuat sebisa mungkin yang dia bisa.

Karena memang tugas menurunkan rizky bukanlah tugas manusia, bukan tugas kita dan juga bukan tugas pengamen tadi, tetapi tugas dan urusan Allah SWT. Allah akan senantiasa memberikan dan menurunkan rizkynya kepada hambaNya yang telah memenuhi syarat untuk diturunkannya rizkyNya.

Dan sang pengamen itu telah mengajarkan pada kita arti keyakinan pada takdir Allah.

Wallahu a'lam.