Sunday, April 06, 2008

Once More, Enthusiasm



Baru dua bulan saya menduduki kursi sebagai Area Sales Manager di PT. Mizan Dian Semesta (MDS) – divisi direct selling Group Penerbit Mizan – ketika mendapatkan kesempatan mengikuti Rapat Kerja Tahunan MDS yang mempertemukan seluruh Kepala kantor Cabang se Indonesia dan pimpinan puncak Group Mizan di daerah Cipanas Puncak.


Ketika sampai pada sesi pemaparan Testimoni kesuksesan para Book Advisor (BA) – sebutan untuk para tenaga freelance pemasar produk MDS – saya terkesan dengan kisah seorang BA yang saya lupa namanya. Dia mengisahkan tentang seotang BA yang gagap dan susah berbicara.

BA tersebut sebelumnya mondar-mandir melamar pekerjaan dari satu kantor ke kantor lain, tetapi selalu gagal karena kelemahannya tersebut. Sampai akhirnya ketika hamper semua kantor menolaknya, berlabuhlah dia menjadi BA. Dan sungguh sebuah keajaiban, si BA yang gagap tersebut waktu itu menjadi BA terbaik dengan poin penjualan terbesar mengalahkan BS-BS senior yang lain.

Pada awal-awal menjadi BA dia selalu gagal dan ditolak. Setiap calon konsumen yang sudah ada agreement untuk presentasi, seketika menolak karena dia tidak kunjung selesai penjelasannya. Tetapi walaupun ditolak berkali-kali dan diejek oleh teman-temannya, dia tidak pernah menyerah dan putus asa.

Didatanginya lagi calon konsumennya yang sudah menolak satu persatu dan terus didatangi, sampai akhirnya satu persatu konsumenyapun melakukan closing transaksi pembelian buku. Dan pada akhirnya semakin banyak dan semakin banyak.

Ketika saya dan peserta raker yang lain mulai penasaran dengan apa yang terjadi, apa yang dilakukan oleh sang BA tadi yang sebelumnya ditolak terus karena kekurangannya tersebut, sang kepala cabang tersebut meneruskan.

Agaknya si BA yang gagap tadi melakukan sedikit perubahan pada pendekatan personalnya. Sebelum bertemu dengan calon pembelinya, dia terlebih dulu mengirimkan brosur product knowledge. Dan pada saat bertemu, dia tinggal menjelaskan masing-masing produk dimaksud.

Karena kelemahannya yang gagap, maka penjelasannya menjadi sangat bertele-tele dan tidak kunjung selesai karena harus mengulang-ulang terus. Untuk menjelaskan satu bagian produk saja, dia bisa menghabiskan berpuluh-piluh menit hingga menjadikan calon konsumennya tidak sabar. Tetapi sang BA gagap tersebut tetap antusias seperti tidak memperhatikan kegelisahan para calon konsumennya.

Karena pada dasarnya para calon konsumennya sedikit banyak sudah tahu produknya melalui brosus product knowledge yang dikirimkannya dan merasa tidak sabar mendengarkan penjelasan dari sang BA yang tidak kunjung selesai, maka akhirnya para calon konsumennya segera melakukan closing transaksi pembelian.

Dan kondisi ini berulang terus dengan calon konsumen yang lain. Sebagiannya bahkan merupakan rebuying untuk produk yang lain. Begitu si BA yang gagap itu datang, sebelum dia mulai memberikan penjelasan yang “panjang lebar”, maka kebanyakan calon konsumennya segera minta closing transaksi karena khawatir akan buang-buang waktu mendengarkan penjelasan sang BA tadi.

Al hasil, waktu yang dibutuhkan untuk closing oleh sang BA yang gugup tadi jauh lebih singkat dari pada yang dibutuhkan oleh para BA yang normal, yang bisa menjelaskan product knowledge dengan sangat baik dan sangat fasih.

Sekali lagi, kita belajar tentang arti kesabaran yang melahirkan kreatifitas dan pencarian alternative penyelesaian. Serta antusiasme dan semangat yang melahirkan energy dan daya dorong yang dahsyat. Mengalahkan daya dorong orang-orang yang memiliki kalebihan jauh diatas yang dimiliki oleh sang BA yang gagap itu.



Keep Spirit & Enthusiasm


Ketika masih bekerja di Bank Syariah Mandiri di Tamrin Jakarta, adik saya mengisahkan sebuah kejadian menarik.


Siang itu datanglah seseorang dengan membawa bawaan barang yang terbungkus dalam gulungan kain berwarna gelap. Dari pembawaannya nampak sekali kalau dia adalah seorang pedagang yang hendak menawarkan dagangannya. Dan benar, dia adalah seorang pedagang yang hendak menawarkan dagangannya berupa papan-papan kecil penunjuk arah atau papan identitas untuk kantor.

“Permisi Pak, saya mau menawarkan dagangan saya sama bapak,” kata pedagang itu sama adik saya.

“Saya yakin bahwa kantor bapak insya Allah pasti membutuhkan barang saya yang ini,” katanya sambil mengambil sebuah papan penunjuk identitas direktur yang diletakkan diatas meja direktur.

Dengan santun adik sayapun menjawab,” wah maaf ya pak, kalau papan nama direktur sudah ada. Jadi maaf ya pak belum bisa beli.”

“ Oke nggak papa. Kalau papan nama direktur tidak, saya yakin bapak pasti akan beli barang saya yang satu ini,” jawab si pedagang dengan rasa percaya diri yang tinggi dan senyum yang tetap mengembang sambil mengambil satu lagi barang dagangannya berupa papan penunjuk bertuliskan musholla.

“ Aduh maaf bapak, papan penunjuk mushollah juga sudah ada. Tuh bapak bisa lihat sendiri kan,” jawab adik saya tetap santun.

“ Oke nggak papa. Kalau papan penunjuk musholla tidak, saya yakin bapak pasti akan beli barang saya yang satu ini,” jawab si pedagang lagi dengan rasa percaya diri yang tinggi dan senyum yang tetap mengembang sambil mengambil satu lagi barang dagangannya berupa papan penunjuk bertuliskan “Ada Lowongan”.

Dengan tetap berusaha santun karena tidak tega untuk mengusir si pedagang, adik sayapun menjawab lagi, “ Bapak, yang itu juga kami tidak beli. Karena disini memang tidak ada lowongan kerja lagi.”

“ Oke nggak masalah. Tapi saya yakin bahwa bapak pasti beli dagangan saya yang satu ini,” timpal si pedagang dengan penuh antusias sambil mengambil dagangannya yang lainnya yang bertuliskan “Tidak Ada Lowongan”.

Sambil geleng-geleng kepala tanda heran dan salut, akhirnya adik sayapun membeli barang dagangan si pedagang antusias tadi. Dan si pedagangpun dengan sangat gembira dan bahagia bergegas pergi meninggalkan Bank Syariah Mandiri siang itu.

Ada banyak kisah tentang heroisme dan semangat hidup yang menginspirasi hidup kita. Dan kali ini kita belajar kisah antusiasme tersebut dari orang yang bukan siapa-siapa.

Betapa antusiasme kita dalam mengahadapi perjalanan kehidupan ini selalu akan berujung pada kebahagiaan dan kegembiraan. Betapa semangat yang selalu menyertai setiap jejak langkah kaki dan tarikan nafas kita akan selalu dan selalu membimbing kita pada akhir yang membahagiakan. Betapa Allah akan membayar lunas impian dan harapan kita seandainya kita mengiringai setiap usaha kita dengan kesabaran dan antusiasme yang membara.

Pepatah Arab mengatakan “ Man Jadda wajada” yang berarti barang siapa dia bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkan. Barang siapa menjalankan setiap aktifitas hidupnya dengan penuh semangat dan gairah yang tinggi demi harapan yang ingin diraihnya, maka Allahpun akan memberikan tunai harapan yang kita inginkan.

Dan terkadang prestasi ataupun pencapaian hidup kita tidak selalu berbanding lurus dengan status, kepandaian, kecukupan modal dan lain-lain yang bersifat material. Prestasi dan pencapaian hidup kita seringkali ditentukan oleh seberapa besar kesabaran dan antusiasme kita dalam mencoba terus dan terus tanpa henti hingga harapan dan impian kita tercapai.

Islam memberikan gambaran betapa energy orang-orang yang sabar dan antusias sebanding dengan sepuluh orang yang biasa-biasa saja dalam menjalani hidupnya.

“ …. apabila ada 20 orang yang sabar diantara kalian, maka dia akan mampu mengalahkan 200 musuh kalian. Dan apabila ada 100 orang (yang sabar) diantaramu, mereka akan mampu mnengalahkan seribu orang-orang yang kafir ….” (QS Al Anfal :65)

Nyatalah bahwa kesabaran dan antusiasme memberikan daya dorong dan daya dobrak yang kuat sehingga apa-apa yang ada disekitar kita akan ikut terseret oleh arus kita bawa, seandainya kita tetap bersabar dan tetap bersemangat.

Kisah paling fenomenal tentang arti sebuah kesabaran dan antusiasme adalah apa yang terjadi pada seorang teman saya ketika menghadapi ujian skripsi di kampus sekitar 10 tahun yang lalu.

Teman yang satu ini bernama Haryo (bukan nama sebenarnya). Haryo adalah seorang yang hampir-hampir tidak pernah menampakkan kesedihan dalam kesehariannya sekalipun ditimpa persoalan yang pelik.

Pembawannya selalu ceria dengan seuntai senyum yang selalu mengembang dari sudut-sudut bibirnya. Dan dia adalah seorang aktifis kerohanian Islam di kampus kami.

Saking sibuknya dengan berbagai kegiatan keummatan, dia sampai tidak begitu siap secara materi mengahadapi ujian skripsi yang tinggal berlangsung besok harinya.

Ringkas cerita, saya yang menyaksikan dari balik dinding ruang ujian dibikin terkagum kagum. Setiap pertanyaan dari 3 dosen penguji selalu dijawabnya dengan cepat, lugas dan penuh semangat. Haryo tidak menyisakan jeda waktu antara pertanyaan dosen penguji dengan jawaban-jawaban yang dia berikan. Dan Haryopun tidak menyisakan satu pertanyaanpun kecuali dijawabnya dengan cepat. Ketiga dosen pengujinyapun geleng-geleng dan mengangguk-angguk dengan kecepatan Haryo menjawab setiap pertanyaan.

Sampailah pada bagian akhir dari ujian setelah sempat ada jeda setengah jam bagi dosen penguji untuk menentukan hasil ujian Haryo. Setelah duduk manis di depan para dosen pengujinya, Haryopun siap mendengarkan hasil akhir dari perjalanan panjang studinya di Fakultas ekonomi Universitas Sebelas Maret.

“ Haryo, dengarkan baik-baik ya,” sapa DR. Soeharno, M.E. sebagai ketua dosen penguji memulai perbincangan.

“Kami bertiga salut sama kamu. Hampir setiap pertanyaan yang kami ajukan kamu jawab bengan cepat, lugas dan penuh dengan semangat yang tinggi. Kamupun tidak pernah ragu dengan jawaban-jawaban kamu. Kamu begitu yakin bahwa data-data dan jawaban-jawaban yang kamu sampaikan adalah benar dan valid adanya,” lanjut dosen penguji yang disambut Haryo dengan anggukan tanda setuju.

“Tapi Haryo, tahukah kamu bahwa dari sekitar 16 pertanyaan yang kami ajukan, kamu hanya menjawab dengan benar 2 pertanyaan saja. Yang 14 lainnya kamu ngawur jawabannya,” lanjut DR. Soeharno yang disambut dengan senyum tanda malu dari Haryo.

“ Tapi demi melihat apa yang sudah kamu sumbangkan untuk kemajuan kegiatan kemahasiswaan di kampus ini, demi melihat betapa semangat dan berapi-apinya kamu menjawab setiap pertanyaan kami dan demi melihat sinar antusiasme dan optimism yang terpancar dari matamu, maka kami bertiga sebagai dosen penguji tidak ingin mengecewakanmu.

Kami bertiga sepakat untuk tutup mata terhadap jawaban-jawaban kamu yang sebenarnya ngawur. Kami tutup mata terhadap kemampuan kamu mempertahankan keilmiyahan skripsi kamu. Kami memutuskan bahwa kamu LULUS SKRIPSI lebih karena antusiasme, optimism dan semangat yang kamu pancarkan.”

Saturday, April 05, 2008

Long Term Thinking

Saya masih kelas 3 SD – kalau tidak salah – ketika bapak saya mengalami kebangkrutan besar dalam bisnis mebelnya.


Setelah melalui proses tender yang alot, akhirnya bapak memenangkan tender pengerjaan proyek penyediaan peralatan mebel inpres sekolah SD baru se Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Awalnya kami semua – terutama bapak – merasakan kegembiraan yang tak terhingga. Terbayang oleh kami sekeluarga limpahan rizki berupa keuntungan usaha yang akan didapatkan.

Akan tetapi agaknya Allah berkehendak lain. Bapak melakukan kekeliruan fatal dalam perhitungan proyeksi bisnisnya. Sebetulnya ini bukanlah kesalahan bapak semata, bapak hanya kurang sensitive dengan perkembangan regulasi pemerintah ORBA pada waktu itu. Agaknya tepat sehari sebelum bapak memenangkan tender, pemerintah melalui departemen kehutanan membuat regulasi baru tentang kenaikan drastis harga-harga produk hasil hutan terutama kayu jati. Dan bapak tidak tahu adanya regulasi baru ini.

Jadilah sejak hari pertama memenangkan tender itu, bukannya bayangan keuntungan yang akan kami dapatkan tetapi setumpuk kerugian bahakan kebangkrutan yang akan kami sekeluarg a dapatkan. Dan benar adanya, secara bisnis bapak mengalami kebangkrutan.

Ketika saya sudah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, bapak menceritakan bahwa waktu itu seluruh asset keluarga dilego untuk menutupi potensi kerugian yang ada. Rumah, mobil, simpanan perhiasan dan apapun yang bisa untuk menutupi kerugian kami bapak jual.

Saya masih ingat bahwa pada episode ini bapak tidak berani tidur di rumah pada waktu malam hari demi menghindar dari terror para debt collector yang sudah sangat-sangat gerah dengan kenyataan bapak yang tidak bisa segera melunasi tanggungan hutangnya. Bapak memilih menginap di kuburan umum yang terletak tidak jauh dari rumah tempat kami tinggal.

Bagi kami anak-anaknya, tidaklah mengagetkan kalau dalam sehari kami hanya bisa mendapati makan cuma sekali. Itupun dengan menu seadanya. Terkadang kami – saya dan adik-adik saya – yang belum tahu apa-apa harus berpuasa karena memang sudah tidak ada lagi yang bisa kami makan. Kalau sudah begini, ibu (almarhumah) hanya bisa menangis tidak tega melihat anak-anaknya yang masih kecil pulang sekolah dalam kondisi lapar – karena ketika berangkat tidak sarapan – dan ketika membuka tudung makanan diatas meja ternyata juga kosong. Saya sering tertidur lemas karena lapar menunggu bapak yang tidak kunjung datang bawa makanan.

Suatu kali saya bertanya sama bapak mengenai kelanjutan proyeknya pada waktu itu. Dan jawaban mengejutkan meluncur dari mulut bapak,” Alhamdulillah akhirnya bapak bisa menyelesaikan proyek itu tepat waktu dan presisi yang sama dengan kontrak yang tertera, walaupun sepertinya kita sekeluarga harus berdarah-darah”.

Bapakpun melanjutkan,” Bapak bisa saja sebetulnya membatalkan proyek tersebut pada awal-awal bapak memenangkan tender. Toh belum ada belanja bahan dan tukang. Bapak paling hanya kena pinalti biaya-biaya pembatalan tender.

Tapi kalau bapak lakukan itu maka berhentilah bisnis bapak dimasa depan. Hampir pasti bapak akan susah mendapatkan proyek lagi karena dinilai tidak perform dan kurang berani menanggung resiko.

Makanya bapak tetap ambil dan kerjain proyek itu sesuai dengan kontrak yang ada dengan segala resiko buruk yang akan ada. Tentunya setelah bapak sharing dengan ibu dan kakak-kakak kamu.

Bagi bapak bisnis harus diniatkan untuk jangka panjang. Jangan berpikir bisnis untuk jangka pendek. Maka ambilah keputusan bisnis yang memiliki dampak positif dalam jangka panjang. Jangan hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek saja, karena akan berdampak buruk dalam jangka panjang.

Tugas kita sebagai manusia adalah memastikan bahwa semua prasarat yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan terpeuhi. Adapun hasilnya adalah ahk Allah untuk menentukan. Allah hanya akan memberikan balasan sebagai hasil dari semua upaya kita sesuai dengan upaya kita, Nggak kurang dan nggak lebih”.



Friday, April 04, 2008

Anger Management



Jam masih menunjukkan pukul 03.30 pagi ketika HP saya berdering. Dalam kondisi masih mengantuk dengan di terpa udara dingin lereng Merapi – saat itu saya sedang ada event Pelatihan bersama Microfin Indonesia di Kaliurang Yogyakarta – sayapun bangun meraih HP yang terus ber dering.


Awalnya saya kira itu bunyi alarm yang memang saya hidupkan pada jam yang sama. Setelah saya lihat, ternyata itu adalah panggilan masuk dari seorang kawan di Bandung, Hadi namanya.


Si Hadi – kawan saya yang satu ini – adalah seorang wiraswasta ulung dengan daya inovasi tinggi dan rasa percaya diri tanpa tanding. Saya mengenalnya belum lama, baru dalam hitungan jalan 2 tahun. Tapi karena seringnya berinteraksi dalam berbagai kesempatan, kami serasa dekat sekali. Hampir-hampir setiap sudut persoalan kehidupan kami tidak tertutupi oleh kami berdua. Tentu dalam upaya mencari solusi yang baik.


Tetapi pagi itu di bulan Mei 2007, saya menangkap suara berat dari ujung telepon sana tidak seperti Hadi yang saya kenal. Nada bicaranya berat dan sering tercekat, suaranya terdengar parau dan kadar semangatnya hanya sekitar 50 persenan saja. Sepertinya Hadi sang bisnisman yang gagah itu sedang menanggung beban berat.


“ Saya mau tutup unit bisnis Kursus saya, dan saya pecat semua karyawannya. Saya bubarkan saja semuanya. Tidak ada satupun yang bisa bekerja dengan baik dan benar. Sungguh saya tidak bisa bekerja dengan mereka. Mereka bisanya ngrepotin saya saja”, belum sempat mata ini sempurna terbuka sudah mendapat berondongan keluh kesah dari hadi.


“ Menurut kamu gimana Mbang”, lanjutnya.


“Kalau kamu maunya begitu, bubarin aja bisnis yang sudah belasan tahun kamu bangun. Pecat semua orang yang ngrepotin dan selesai sudah episode epic tentang seorang gagah berani dalam dunia bisnis yang bernama Hadi”, sahutku sambil sesekali menahan kantuk.


Dengan nada agak kesal Hadipun melanjutkan,” Mbang, saya tuh serius tentang bisnis saya. Itu kenapa sepagi ini saya kontak kamu. Tapi kamu koq ngasal gitu responnya !!!”


“Siapa bilang aku gak serius. Aku tuh serius banget Hadi dengan kata-kataku. Kapan sih yang aku gak serius untuk urusan sama kamu”, lanjutku meyakinkan.


“ Gini Hadi, aku lagi ada Training di Kaliurang. Lusa saya balik ke Jakarta. Kita bicarakan lagi di Jakarta lusa ya. Dan ingat, jangan terusin dulu omongan kamu ini sebelum ketemu aku di Jakarta. Okay ?” lanjutku kemudian.


………………………………………………………


“ Ceritain dong Hadi, ada apa dengan orang-orangmu itu,” sergahku begitu ketemu dengan Hadi di Jakarta.


“ Seperti sudah ku bilang kemarin bahwa, mereka tidak ada yang bisa bekerja dengan saya. Mereka cuma bisa ngrepoti, cuma bisa bikin kacau bisnis. Nggak ada perlunya mereka dipertahankan,” sambutnya dengan penuh semangat.


“ Benar mereka tidak ada yang bisa bekerja dengan baik ? Coba ingat-ingat lagi masa ketika bisnis kamu booming. Mereka-mereka juga kan yang ngerjain ?


Coba ingat juga apa saja yang mereka kerjain, apa benar yang mereka lakukan Cuma ngrepotin kamu, apa benar tidak ada produktifitas kebaikan yang mereka lakukan ?


Apa juga benar kerjaan mereka Cuma bikin kacau perusahaan, apa benar tidak ada satupun dari mereka yang memberikan kontribusi positif ?” berondongan pertanyaanku kepada Hadi.


Sejurus kemudian Hadipun menjawab,” Ya ada sihdari mereka yang bagus, produktif. Dan terkadang memang mereka cukup loyal dan progresif. Hasil kerja mereka terkadang juga lumayan bagus. Cuma masalahnya, mereka baru bisa memberi hasil yang positif kalau aku yang memberikan perintah, aku yang harus bombing terus. Tidak ada kreatifitas mereka. Selalu menunggu dan menunggu terus perintah dan arahanku. Lama-lama aku kan stress Mabng … !!!”


Akupun menimpali,” Loh, bukankah memang model seperti ini yang kamu inginkan. Bukankah kamu yang selalu bilang sama karyawan kamu supaya ikut saja yang kamu perintahkan. Bukankah kamu selalu bilang yang penting ikuti saja perintahmu. Yang penting taat saja.


Bukankah kamu juga yang sering marah-marah dengan bawahan kamu ketika melihat hasil kerja mereka yang kurang pas dengan detail yang kamu inginkan.


Bukankah kamu yang memaksa kondisi kerja di bisnis kamu menjadi Hadi Sentris, yang menghasilkan orang-orang taat yang selalu menunggu petunjuk dan arahan kamu demi kepuasan presisi yang kamu inginkan.”

……………………………………………..


Aristoteles mengatakan :


Marah adalah sesuatu yang mudah kita lakukan. Yang sulit adalah marah kepada orang yang tepat, karena sebab yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan cara yang tepat, dengan kata-kata yang tepat dan untuk tujuan yang tepat.


Yang banyak kita lakukan adalah marah bukan pada orang yang tepat, oleh sebab yang tidak tepat, juga bukan pada waktu yang tepat. Apalagi pada tempat yang tidak tepat, cara kita marahpun tidak tepat, kata-kata kemarahan kitapun juga tidak tepat dan yang paling menyedihkan adalah kita marah untuk tujuan yang tidak tepat.


Seandainya kita semua memikirkan kepada orang yang tepat, karena sebab yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan cara yang tepat, dengan kata-kata yang tepat dan untuk tujuan yang tepat, sebelum kita mengekspresikan kemarahan kita, maka barangkali kita tidak akan sempat lagi marah-marah.


Kalaupun kita harus marah, maka kemarahan kita adalah kemarahan yang memberikan kontribusi positif dan menyelesaikan sebagian masalah kita.


Betapa banyak kita saksikan kesemrawutan kehidupan kita yang muncul sebagai hasil dari keputusan-keputusan yang dilandasi oleh kemarahan buta. Kita baru menyesal sejadi-jadinya setelah menyadari apa yang telah kita lakukan dikarenakan sebab marah. Dan sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa terkadang biaya financial dan biaya social yang ditimbulkan oleh kemarahan kita sangat mahal.


Ibarat kita memaku tembok atau kayu. Walaupun paku tersebut sudah kita cabut, tetapi yang pasti akan meninggalkan lubang bekas paku. Begitulah efek yang ditimbulkan oleh kemarahan kita. Walaupun kita sudah meminta maaf kepada orang yang kita marahi, akan tetapi pasti sudah meninggalkan bekas luka dihati orang tersebut yang pastinya tidak mudah hilang.

..............................................


Si Hadipun bertanya lagi,”Terus kalau saya lagi marah-marah, gimana caranya buat ngerem ?”


Marah itu juga sangat dipengaruhi oleh kondisi dan posisi fisik kita. Maka kalau ingin berhenti dari kemarahan kita, rubahlah posisi atau kondisi fisik kita.


Kalau ketika marah kita sedang berdiri, maka segeralah duduk. Apabila kita marah ketika sedang duduk, maka segeralah berdiri. Apabila masih tetap saja diliputi kemarahan, maka pergilah dan tinggalkanlah apapun yang bisa menyebabkan kemarahan. Bila tetap saja diliputi kemarahan, maka ambillah air wudlu (bagi muslim) dan segeralah sholat dua rakaat. Minta kepada yang Maha Menguasai hati kita supaya hati kita berada dalam bimbingannya.


Jadi, temukan seribu satu alasan yang benar dan tepat sebelum kita memutuskan untuk “marah”. Seandainya bagi kita terlalu susah menemukan alasan yang tepat dan benar, segera putuskan untuk menyelesaikan urusan tidak dengan marah-marah.


Thursday, April 03, 2008

Talk About Success

Pada satu sesi training Unleash The Power Within, Mr. Tung menceritakan tentang Michael Jordan sang jawara bola basker USA :

Ketika Jordan berkesempatan datang ke Universitas-universitas di seantero USA untuk melakukan Coaching Clinic dalam dunia bola basket, Jordan selalu melemparkan pertanyaan unik dan menggelitik kepada audien yang tidak lain adalah para mahasiswa penggila bola basket NBA.


"Siapakah yang pernah melakukan lemparan bola ke keranjang dan gagal ?", demikian Jordan mengawali pembicaraan dengan pertanyaan.

Serentak ruangan aula tenpat diadakannya pertemuan menjadi gaduh dan mayoritas audien mengacungkan tangan tanda bahwa mereka pernah melakukan kesalahan dalam lemparan bola.


Pertanyaan berikutnyapun dilanjutkan.

"Baik, terima kasih atas kejujuran kalian. Pertanyaan saya berikutnya, dari sekian banyak yang pernah gagal dalam lemparan bola, siapakan orang di ruangan ini yang paling banyak pernah melakukan kesalahan atau kegagalan dalam lemparan bola ?"

Kembali ruangan menjadi gaduh. Ada sebagian yang mengangkat tangan dengan mengatakan bahwa dia pernah paling tidak seratus kali melakukan kegagalan lemparan bola. Yang lain tidak mau kalah dengan mengatakan lebih banyak lagi.


Akan tetapi tiba-tiba ada seorang audien yang dengan keras berkata bahwa orang di ruangan ini yang paling banyak melakukan kegagalan lempar bola adalah Michael Jordan sendiri. Karena Jordan adalah orang yang paling banyak melakukan game.

" Benar, sayalah orang yang paling banyak melakukan kegagalan dalam lemparan bola. Karena sayalah orang yang paling banyak melakukan pertandingan basket", sahut Jordan sambil memberi tepukan tangan.

"Pertanyaan saya berikutnya. Siapakah orang diruangan ini yang paling terkenal dan paling kaya ?" lanjut Jordan.
Dan pertanyaan ini disambut dengan jawaban laksana koor, " Andalah Jordan orang di ruangan ini yang paling terkenal dan paling kaya. Karena anda adalah bintang NBA !!!".


Jordanpun melanjutkan," Ya benar. Sayalah orang yang paling terkenal dan paling kaya diruangan ini karena saya paling banyak melakukan kegagalan dalam lemparan bola. Kegagalan demi kegagalan yang menjadikan saya belajar dan terus belajar untuk memperbaiki. Dan setelah ribuan kali saya gagal, hari ini saya menjadi orang paling sukses dalam kancah NBA. Yah, saya sukses karena melakukan kesalahan dan kegagalan".


...............................................

Entah berapa banyak cerita serupa dan semacam Jordan tadi.

Dalam versi yang lain, kita mendengar kisah tentang Thomas Alpha Edison yang konon berhasil menemukan lampu pijar pada eksperimennya yang ke 10.000.

Ketika kolega-koleganya sempat menasihati untuk berhenti dari eksperimennya yang tidak kunjung berhasil dengan mengatakan bahwa Edison telah melakukan kegagalan sekian ratus dan ribu kali, Edison hanya mengatakan bahwa dia tidak melakukan kesalahan dan kegagalan. Dia hanya melakukan eksperimen dengan cara yang belum benar dan akan melakukan eksperimen terus hingga didapatkan cara yang benar.
Dan pada eksperimennya yang ke-10.000 itulah Edison melakukan eksperiman dengan cara yang benar dan menyalalah lampu pijar temuannya.

Seorang teman - Bagus Hernowo namanya - penggiat wirausaha (dia adalah leader nasional MLM Syariah HPA International) mengatakan kepada saya bahwa kita disebut GAGAL bukan pada saat kita tidak berhasil dalam melakukan suatu kerja.
Akan tetapi kita disebut GAGAL apabila kita tidak berhasil dalam suatu usaha atau kerja kemudian memutuskan untuk menyerah dan berhenti. Itulah gagal. Selama kita masih mencoba terus, kita tidak akan pernah disebut gagal.


Pada sesi Pelatihan Motivasi untuk kawan-kawan dari Global Vision Group di Hotel Kana Kaliurang Jogja akhir Maret 2008 lalu, seorang peserta bertanya tentang kiat-kiat sukses.

Saya tidak muluk-muluk memberikan rumusan yang terkadang membingungkan.
Saya hanya memberikan rumusan sukses dalam rumus matematis.

Apabila sukses kita lambangkan dengan huruf "S", kemudian gagal dilambangkan dengan huruf "G", maka sukses bisa dirumuskan sebagai berikut :

S = G + 1

Berapa banyak kita menjumpai kegagalan dalam satu proses hidup kita, maka yakinlah kita akan mendapatkan kesuksesan pada upaya kita yang berikutnya Insya Allah. Karena rumusan kesuksesan adalah akumulasi kegagalan ditambah dengan satu lagi upaya untuk bekerja lagi dan bangkit.

Selama masih ada spirit untuk selalu berusaha dan berusaha - tentunya dengan perbaikan cara melakukan kerja - maka ruang kesuksesan selalu menanti kita diujung lorong upaya kita.


Dalam kacamata agama, Allah tidak akan merubah nasib hambanya sehingga hamba itulah yang terus berupaya merubah nasibnya sendiri.


Tugas kita sebagai manusia hanyalah terus memastikan bahwa semua prasarat untuk tercapainya kesuksesan hidup kita terpenuhi dalam setiap upaya dan kerja kita. Adapun persoalan hasilnya, itu hak prerogatif Allah sebagai Tuhan yang Maha Adil dalam memutuskan.


Apabila semua prasarat sukses sudah terpenuhi, maka tidak akan ada alasan bagi Allah untuk tidak memberikan buah kesuksesan bagi hambanya tersebut.
Apabila kesuksesan belum juga menghampiri langkah-langkah kehidupan kita, maka yakinlah bahwa ada bagian dari prasyarat sukses yang belum terpenuhi. Dan menjadi tugas kita semua untuk terus dan terus memenuhi prasarat kesuksesan, hingga Allahpun memberikan hadiah kesuksesan kepada kita.

Sekali lagi, tugas kemanusiaan kita adalah terus dan terus memastikan bahwa semua prasarat untuk sukses dalam hidup terpenuhi.
Dan seterusnya tentang hasil, itu adalah wilayah Allah, wilayah Tuhan.
Kita harus 'melobi' Allah dengan cara-cara yang Allah sukai dan cintai.

Wallahu a'lam


Tuesday, April 01, 2008

Freedom Of Mind

Hari masih pagi ketika seorang teman – sebut saja Sahrul (bukan nama sebenarnya) – sambil merengut seram bergumam menggerutu tidak jelas apa yang dikatakan. Suasana kantor yang hening seketika berubah jadi gaduh dengan gerutuhan si Sahrul. Penasaran dengan apa yang ada dibenak Sahrul, sayapun memberanikan diri untuk bertanya kenapa.

Masih dengan cemberut dan bersungut-sungut, Sahrulpun mulai bercerita, “ Saya tuh semakin lama kerja disini semakin sebel saja. Apapun yang pernah dijanjikan oleh boss tidak ada yang direalisasikan. Payah ..!!!”


Dengan santai sayapun menimpali, “ Kalau sebel begitu dan boss nggak bermutu, ya sebaiknya berhenti saja dan pindah cari kerjaan yang bikin ente enjoy.”


Sahrulpun melanjutkan,” masalahnya nggak semudah itu Pa Bambang. Cari kerjaan sekarang kan nggak mudah ….”


“ Ya kalau gituuu … nikmati saja keadaannya. Toh bersungut-sungut gitu juga tidak lantas menjadikan boss jadi baik kan . Emang ada apa sih, bisa sebel banget kaya gitu ….”, timpalku lagi.


“ Gini Pa. Dua tahun lalu saya mendapat tawaran tugas studi lapangan selama satu bulan penuh di kantor cabang di Makasar. Pada dasarnya saya senang mendapat tugas itu. Saya hanya bingung waktu itu karena pada waktu yang bersamaan saya harus mengikuti ujian semesteran kuliah saya yang belum selesai. Dan ujian semesteran itu adalah peluang terbaikku untuk menyelesaikan studiku yang lama nggak kelar,” Sahrul mulai bercerita panjang.


“Terus akhirnya gimana ?” tanyaku lebih dalam.


“ Kita semua tahu kan, gimana reaksi boss kalau kita nolak perintahnya. Sayapun sudah menyampaikan tentang ujian semesteran itu. Tapi boss terus mendesak dan memberikan argument yang tidak bisa saya sanggah. Bahkan boss bilang, nanti setelah studi lapangan selesai maka seluruh biaya kuliahku akan dibayari,” Sahrul melanjutkan.


“ Saya dengar, akhirnya kamu berangkat studi lapangan juga. Terus gimana kelanjutan kuliahmu. Bukannya sekarang juga belum kelar kan ..?” tanyaku lagi.


“ Ya itulah Pa Bambang. Karena didesak terus dan saya juga kuatir kehilangan pekerjaan, ya akhirnya saya menerima walaupun berat. Tapi nyatanya, sampai sekarang janji boss yang mau biayai studi sayapun tidak pernah ada. Bayangin Pa Bambang, gimana saya nggak sebel…”.


Sayapun memotong celotehan Sahrul ,” Sebentar Sahrul. Tadi kamu bilang bahwa karena didesak terus dan kamu juga kuatir kehilangan pekerjaan, akhirnya kamu menerima tugas studi lapangan walaupun berat. Artinya pada akhirnya, kamu yang menerima keputusan itu kan. Terus kenapa kamu salahkan boss tentang tugas studi lapangan …”.


Dengan sedikit terkejut – sepertinya Sahrul tidak menduga saya akan bertanya seperti itu – Sahrulpun menyahut,” Ya karena saya didesak terus sama boss dan saya kuatir dipecat, yaaa ….. saya terima saja tugas itu.”


“ Gini Sahrul. Boss boleh saja galak, boss boleh saja mendesak terus, boss boleh saja bisa pecat kamu … tetapi pada akhirnya kamu kan yang memutuskan untuk menerima tugas itu. Seandainya kamu tetap teguh dengan argumentasi kamu, bisa jadi kondisinya tidak seperti sekarang. Bisa jadi kuliah kamu akan lancar,” saya terus member masukan pada Sahrul.


Dengan agak kesal Sahrul menjawab,” tapi kan saya terpaksa Pa Bambang …”


“ Ya. Tapi kamu juga kan yang memutuskan menerima tugas itu. Kamu juga kan yang memutuskan untuk menganggap kondisinya terpaksa. Padahal kamu Sahrul bebas untuk menentukan apakah kondisinya terpaksa atau biasa saja. Kamu juga bebas untuk memutuskan apakah memilih menerima tugas itu ataukah memilih untuk menolak. Kepergian kamu untuk studi lapangan selama sebulan penuh pada dua tahun lalu adalah keputusan kamu. Boss hanyalah sebagai pihak yang memberikan stimulus. Jadi kalau hari ini kamu uring-uringan dengan kepergian kamu studi lapangan dua tahun yang lalu, maka kamu sedang menjelek-jelekan keputusan kamu sendiri”, saya menimpali lagi.


Sahrul, “ ….. ???? !!!”


……………………………………………..


Seringkali kita mudah melemparkan kesalahan terhadap hal buruk yang menimpa kita kepada orang lain. Seolah sumber dari bencana yang menimpa kehidupan kita adalah orang atau pihak lain.


Ketika studi kita gagal berantakan, kita mudah menyalahkan kondisi luar. Karena kurang biayalah, kurang fasilitaslah, terlalu banyak aktifitas diluarlah.


Ketika bisnis kita kurang berhasil, kitapun mudah mengambinghitamkan pesaing kita. Ketika kehidupan rumah tangga kita sedikit kacau, kita buru-buru menyalahkan pasangan kita. Dan ujung-ujungnya kita menjadi pasrah dengan kondisi yang ada, tanpa ada semangat untuk memperbaiki.


Seorang pemikir Islam Aljazair dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul MEMBANGUN DUNIA BARU ISLAM memberikan ulasan tentang fenomena penjajahan bangsa barat terhadap negeri-negeri muslim. Menurutnya, penjajahan barat terhadap dunia Islam lebih karena dunia Islam memang memenuhi syarat untuk dijajah barat.


Bahwa para penjajah itu jahat, itu jelas. Tetapi seandainya dunia Islam memutuskan untuk melawan dengan segenap upaya, maka penjajahan itu tidak akan lama. Tetapi karena dunia Islam memutuskan untuk menyerah dengan kondisi yang ada, maka penjajahan itu menjadi sangat lama.


Kita memiliki pilihan-pilihan keputusan dalam hidup. Orang lain atau pihak luar boleh saja memberikan stimulus, tetapi keputusan ada pada diri kita sendiri. Mengkambinghitamkan kondisi ekternal hanya akan menjadikan kita lebih hancur pada waktu yang akan datang dan tidak memberikan kebaikan.


Sehingga, keputusan apapun yang pernah kita ambil pada masa yang lalu tentang kehidupan kita maka jalan terbaik adalah dengan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan itu. Untuk selanjutnya, kita buat keputusan-keputusan hidup yang dilandasi oleh kebebasan untuk memutuskan berdasarkan prioritas hidup dan pencapaian-pencapaian masa depan kita. Bukan dilandasi oleh prioritas hidup dan pencapaian-pencapaian masa depan orang lain.


Dan setelah keputusan sudah diambil, maka bertanggungjawablah.