Friday, November 14, 2008

I Just Wanna Say I Love You

Seorang teman dengan ekspresi sangat tertekan memendam keterpaksaan akhirnya membuka cerita pedihnya.


“Istri saya sekarang tidak sama dengan yang dulu,” ucapnya pelan memulai pembicaraan.


“Apanya yang tidak sama ?” tanyaku mencoba mengerti lebih jauh.


“Sekarang dia liar. Suka membantah kata-kataku. Sedikit ada perbedaan maka dia marah dan berani membentak. Kalau pergi keluar rumah sering nggak kenal waktu, terkadang jam 9 malam baru pulang. Kalau ditanya dari mana, bawaannya pasti marah-marah,” lanjutnya.


“Tidak jarang kudapati dia marah-marah terus dengan anak-anak tanpa kupahami penyebabnya. Pokoknya kacau dia sekarang,”lanjutnya lagi.


Bisa ditebak, teman yang satu ini membuka peluang perceraian di akhir curhatnya. Baginya itu solusi terbaik mengingat usahanya selama ini untuk mempertahankan biduk rumah tangga dirasakannya sia-sia belaka.


“Sudahlah, kamu pulang dulu ke rumah. Temui anak-anakmu. Kalau kamu ingin cerai boleh saja, tapi jangan sekarang. Nanti aja kalau sudah tenang,” imbuhku sambil menepuk-nepuk pundaknya mencoba menenangkan.


“Besok kalau ada masalah lagi, boleh datang ke sini lagi,” sambungku lagi.


..............................................................


Seminggu berikutnya ......


“Tamat sudah pernikahanku, diapun minta cerai dariku”, ceritanya dengan luapan emosi yang tertahan. Setelah itu diapun terdiam, lama.


“Kamu benar mau bercerai ? kalau ya, ya sudah aku bantu ngurus perceraian,” timpalku memecah keheningan.


Seketika wajahnya terangkat. Pandangannya kosong. Mukanya memerah dan dahinya mengernyit menyiratkan keheranan yang sangat.


“Kok kamu malah mau bantu ngurus perceraian sih ...?”tanyanya kemudian.


“Kan kamu sendiri yang bilang mau cerai. Sebenernya kepengin cerai nggak sih ?”tanyaku lagi.


“Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya nggak pengin. Tapi kelakuannya itu loh yang nggak bisa ditoleransi,”tambahnya lagi.


“Tapi mau bercerai nggak nih jadinya,”tanyaku lagi.


Setelah merenung panjang akhirnya diapun menjawab dengan terbata-bata,”beneran, saya nggak ingin cerai. Walaupun bayangan untuk bercerai selalu hadir menghantuiku,” akunya lagi.


“Kalau memang nggak ingin bercerai maka aku juga mau bantu supaya kamu nggak jadi cerai. Mau nggak?”tanyaku memojokkan yang segera dijawabnya dengan anggukan kepala lesu.


“Kalau gitu tolong jawab pertanyaanku baik-baik,”pintaku lagi.


“Dalam 10 tahun perkawinanmu, sejak kapan kamu merasa ada yang salah dengan pernikahanmu,”tanyaku. “Sejak 2 tahun yang lalu, tepatnya setelah istri saya kerja kantoran,” jawabnya cepat.


“Apa yang membuat kamu berpikir bahwa ada masalah dengan perkawinanmu,”tanyaku lagi.


“Ya itu tadi, istriku mulai bermasalah,”tambahnya.


“Apa saja perilakunya yang kamu anggap bermasalah sampai kamu berpikir untuk bercerai,”tanyaku mencoba menggali lebih dalam lagi.


“Ya seperti yang saya sebutkan tadi. Dan sebenarnya masih banyak lagi yang lain. Tapi sudahlah, disebutin juga Cuma bikin hati lebih ndongkol,” jawabnya cepat.


“Dan dua tahun terakhir ini kamu selalu mengingat-ingat perilaku “buruk” istrimu itu ?”tanyaku.


“Tentu lah, karena saya yang merasakan langsung akibatnya,” jawabnya.


“Ok. Tadi kamu bilang dari 10 tahun pernikahan, baru 2 tahun belakangan yang terasa kaya di neraka. Berarti sebelumnya baik-baik saja dan bahagia dong,” lanjutku.


Tiba-tiba raut muka teman itu berubah. Wajahnya sedikit memancarkan keceriaan dan sunggingan senyumnya mengekspresikan kebahagian yang mungkin selama ini dirasakannya telah hilang. “Ya, sebelumnya kami hidup bahagia mesti banyak kekurangan. Ingin rasanya merasakan kembali masa bahagia itu...” demikian lanjutnya lagi.


“Kamu ingin merasakan kebahagiaan itu lagi ... “kejarku menegaskan.


“Ya. Saya sungguh merindukan masa-masa bahagia itu,” sambungnya lagi.


“Boleh tahu kapan waktu yang paling membahagiaan dalam rentang waktu pernikahanmu,” tanyaku.


Seperti mencoba mengingat kembali perjalanan perkawinannya, diapun terdiam sejenak. “Sekitar masa 1 tahun pertama pernikahan. Itulah yang saya pikir waktu paling membahagiakan kami,”jawabnya lagi.


“Baik. Kamu masih ingat, apa saja yang kalian lakukan pada masa satu tahun pertama sehingga kamu merasa itu adalah masa pernikahan paling membahagiakan,” tambahku.


Tanpa pikir panjang maka diapun menceritakan detail peristiwanya satu persatu. Tidak ada lagi ekspresi tertekan dan stress. Kini ekspresi kebahagiaan benar-benar telah menggantikannya. Berkali-kali dia tertawa lepas. Sementara saya mencoba mendengarkan dengan baik semua ceritanya.


Setelah selesai menceritakan episode perkawinan yang paling membahagiakan, akupun mengatakan. “Nah sekarang pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, tolong, apapun yang dilakukan oleh istrimu jangan dipikirkan. Kalau kamu merasa nggak kuat dan mau marah, segera tinggalkan istri anda dan cari tempat yang tenang. Mulai sekarang, jangan fikirkan hal-hal yang jelek dari istri kamu. Tapi pikirkanlah masa-masa bahagiamu itu. Ingatlah keadaan istri pada saat itu. Terus pikirkan masa bahagia itu. Oke ?” demikian saranku mengakhiri sesi curhat malam itu yang dijawab dengan anggukan mantap dan tidak lupa, senyum yang mengembang.


..................................................................


Tanpa sepengetahuan teman tadi, sang istripun datang kepada saya dan menguraikan masalah rumahtangganya yang dikatakannya berantakan dari sudut pandangnya. Kepadanya juga saya tanyakan dan saya sampaikan apa-apa saja sama persis dengan apa yang saya katakan kepada suaminya. Supaya dia lebih mengingat masa-masa bahaia dengan suaminya dan mengingat kebikan-kebaikan suaminya yang dulu membuatnya sangat berbahagia.


..................................................................


Seminggu, dua minggu saya menunggu tetapi teman itu tidak kunjung datang. Berbeda dengan waktu sebelumnya yang hampir tiap 3 hari sekali datang dan menumpahkan begitu saja perasaannya kepadaku.


Ketika kedatangannya lagi sudah tidak ada dalam agenda saya, secara tiba-tiba teman itu muncul. Hal yang paling membuat aku bahagia adalah bahwa dia datang dengan istrinya yang selama ini sering disebutnya liar.


Saya mencoba melihat kalender dan, ya. Sudah 4 bulan mereka nggak dateng. Tapi sekarang ....


“Sepulang dari sini sekitar 4 bulan yang lalu, aku benar-benar mencoba melakukan apa yang kamu katakan,” demikian teman itu membuka pembicaraan.


“Berkali-kali istriku memancing emosiku, membuatku jengkel, mengata-ngataiku dengan umpatan yang keji. Tingkahnya semakin liar ...” lanjutnya yang diikuti dengan senyuman kecil istrinya yang duduk di sampingnya. Setelah santai iapun melanjutkan.


“Tapi seperti nasihatmu, aku nggak pikirin itu semua. Yang aku pikirkan tentang istriku adalah kebaikan-kebaikannya dulu yang menjadikanku bahagia. Makanya segala perilakunya yang menjengkelkan aku diamkan saja. Bahkan sebagiannya aku balas dengan senyuman,” sambungnya sambil sesekali melemparkan pandangannya ke arah istrinya.


“Sekali dua kali itu berjalan. Istri tetap dengan perangai awalnya. Sampai akhirnya keajaiban itu terjadi. Sebulan yang lalu, bayangan istriku yang aku miliki saat masa-masa bahagia dulu tiba-tiba muncul.”


“Kata-kata umpatannya berganti dengan sapaan menyejukkan, tuduhan-tuduhan kejinya berganti menjadi ungkapan maaf penuh cinta, tatapan kemarahannya berubah menjadi tatapan penuh kasih ... ,” dia terhenti sejenak. Disekanya butiran air mata yang mulai berlinang.


“Dalam hati ini, aku bergumam bahwa istriku telah kembali ..” lanjutnya.


Tiba-tiba istrinyapun menimpali,” Sepulang dari sini, aku mencoba mengikuti saran-saran anda. Tapi itu terasa sangat sulit. Setiap kali mencoba mengingat kebaikan suami, yang terlintas dikepalaku kemudian adalah sikap arogan dan diktatornya. Jadilah perilaku apa yang dikatakan suami sebagai “liar” selalu muncul dan muncul lagi.”


“Entah berapa kali saya seperti kesurupan, melampiaskan nafsu kemarahan tanpa kenal waktu. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa ada yang berubah dengan suami saya. Sudah beberapa bulan saya perhatikan tidak ada perlawanan darinya. Sehingga lama-lama saya malu juga ketika sadar bahwa saya ngcau sendirian.”


“Penasaran akan keadaan itu, maka akupun memberanikan diri untuk bertanya pada suami. Dan dia ceritakan semua kembali masa-masa indah dulu. Kami saling bercerita tentang kebaikan satu sama lainnya. Sehingga pada akhirnya, kami lebih tertarik untuk menghiasi hari-hari kami dengan kebaikan dan kelebihan pasangan,” ceritanya penuh haru.


“Dan hari ini tidak ada lagi alternatif pilihan cerai. Kami telah hapus pilihan itu. Dan atas semuanya, kami ucapkan terima kasih atas sarannya,” ucap sang suami diiringi jabat tangat erat dan peluk hangat penuh rasa cinta.


......................................................................


Kita sering obral kata-kata cinta. Akan tetapi cinta memang harus diungkapkan. Cinta memang harus dinyatakan. Cinta tanpa torehan kata, maka akan menjadi tak berbalas. Cinta tanpa ungkapan lisan, maka akan berujung kegalauan. Bahkan sebagian besar kaum wanita akan menjadi berbunga-bunga hatinya saat mendapatkan ungkapan kata CINTA dari orang yang dikasihinya.


Akan tetapi, kata saja tidaklah cukup. Seringkali lisan berucap cinta, tapi tangan berkata sebaliknya. Walaupun tetap dalam bungkusan ungkapan cinta.


Berapa banyak suami yang “atas nama cinta” menjadi seperti diktator yang mengatur tanpa kompromi semua detail kehidupan istrinya. Yang dengan perilaku “atas nama cinta” itu sang istri menjadi terluka.


Tidak sedikit para bapak yang “atas nama cinta” kemudian membungkam kreatifitas anaknya atas nama kehidupan yang disiplin dan penuh keteraturan. Yang dengan perilaku “atas nama cinta” itu sang anak menjadi tersakiti.


Adakah cinta sejati kan berujung luka yang menganga serta menyakiti jiwa dan raga orang-orang yang dikasihi. Ataukah cinta kan menutup luka dan membangkitkan jiwa-jiwa yang bahagia ?


Sepertinya ungkapan kata dan semburat pikiran cinta itu tidak boleh berhenti disitu. Ianya harus segera berujud pada rasa penuh cinta dan raga penuh cinta.


Segenap perasaan kita terhadap orang-orang yang kita kasihi harus mengekspresikan dominasi cinta. Raga kita juga harus menjadi penterjemah paling fasih terhadap kata cinta.


Tanpa keikutsertaan segenap perasaan dan peran total jasad ragawi kita, maka ungkapan dan pikiran cinta itu tidak akan membuahkan hasilnya. Ia hanya akan sebatas jargon tanpa makna, sebatas asa tanpa hasil, sebatas slogan tanpa realita.


Cinta hanya akan menemukan maknanya ketika segenap perasaan kita terhadap orang-orang yang kita cintai selalu didominasi oleh cinta, dan raga membenarkannya dengan perilaku yang berjalan diatas kamus cinta. Sekedar kata dan asa, cinta akan kehilangan jiwanya.


Dan kedua suami istri diatas telah menemukan kembali cintanya yang hilang.

Wallahu a’lam bishowab.

Let Us Confirm

Aku menjadi semakin salah tingkah. Teman-teman yang biasanya memberi sambutan hangat setiap kami ketemu, tiba-tiba memperlihatkan perilaku yang aneh. Tatapan mereka penuh curiga, senyum mereka penuh makna kesinisan. Jabat tangan mereka hambar tanpa kehangatan.

“Ada apa ya dengan mereka,” demikian gumamku kebingungan. Sambil berjalan menuju kelas, sesekali kulihat mereka mencuri-curi kesempatan menggunjingkan sesuatu di belakangku.


“Atau jangan-jangan ada yang keliru dengan aku. Tapi apa ya .... ,” tanyaku pada diri sendiri sambil kugaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.


Hingga menjelang bel pulang sekolah berbunyi tidak ada satupun dari mereka – teman-teman akrabku – yang ngomong ada masalah apa denganku. Aku menjadi semakin salah tingkah karena perubahan sikap teman-teman yang sangat drastis.


.........................................................................


Sikap teman-teman sungguh membuatku tertekan, stress. Kalau saja aku tahu apa masalahnya, mungkin aku bisa menyelesaikannya. Tapi mereka memilih diam, seperti aku bukan lagi bagian dari mereka.


Padahal satu setengah tahun terakhir adalah masa-masa terindah dalam usia remajaku. Aku dipertemukan dengan teman-teman SMA yang diusia remajanya yang penuh gelora justru lebih memilih untuk menjaga diri dari semua yang berpotensi merusak.


Kami menjadi seperti tak terpisahkan. Setiap pertemuan kami hiasi dengan jabat tangan yang erat dan hangat. Tak pernah ketinggalan peluk erat ukhuwah mewarnai setiap perjumpaan dan perpisahan kami. Doa kebaikan untuk teman yang lain tidak pernah kami lewatkan dalam setiap sholat kami.


Rona wajah kami lebih ddidominasi ekspresi keceriaan dan optimisme. Senyum renyah yang tersungging adalah konsumsi harian bibir kami. Dan tutur kata santun penuh nilai adalah bahasa keseharian pergaulan kami.


............................................................................


Tiba-tiba aku tersadar. Itu semua adalah lamunan indah masa lalu yang telah usai. Sekedar membayangkan saja keindahan masa lalu kemudian membandingkannya begitu saja dengan keadaan sekarang juga bukanlah sikap yang bijak, karena justru akan menjadikan hati dan fikiran ini sakit.


“Aku harus mengembalikan masa-masa indah itu,” demikian anganku memecah lamunan. “Aku harus cari tahu ada masalah apa denganku, untuk kemudian sebisa mungkin kuperbaiki agar keindahan ukhuwah yang selama ini kurasakan bisa hadir kembali,” ucapku dalam hati untuk memperkuat keyakinan.


............................................................................


Kulihat Ali – temanku di Rohis SMA – sudah selesai melakukan sholat dhuha. Setelah beberapa doa dibacakan, kuberanikan diri untuk mendekati Ali. Awalnya dia seperti hendak menghindar, tetapi akhirnya mau menerima kehadiranku.


“Akh Ali, sebenarnya ada apa sih dengan aku ?” tanyaku langsung tanpa harus merinci maksudnya karena aku yakin dia sudah paham.


“Antum berbuat maksiat, dan teman-teman benci melihat antum ,” sambarnya tanpa ekspresi.


“Hah ... aku bermaksiat .... ?” tanyaku kaget. Masih dengan kekagetan, akupun mencoba mengklarifikasi masalahnya. “Ya, tapi maksiat apa. Tolong dong bilang ?”


“Antum berpacaran dengan seorang akhwat. Akh Joko melihat antum boncengan naik motor malam Rabu kemarin jam 11 malam di Jl. Sultan Agung ? sambung Ali melanjutkan.


“Akh Joko menyampaikan itu pada kami semua ..,” sambungnya lagi. Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengarkan cerita Ali.


.........................................................................


Sabtu siang itu ruang mushola sekolah sudah penuh sesak. Teman-teman Rohis sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarkan jawaban dari aku tentang tuduhan pacaran itu.


“Malam itu ada seorang ibu muda mendapati anaknya yang baru berusia 4 bulan sakit. Panas badannya sangat tinggi, mukanya membiru dan tubuhnya kejang-kejang. Sementara suaminya sedang di luar kota,” ceritaku sambil menahan nafas panjang.


“Aku yang tahu akan kondisi yang darurat itu tidak mungkin membiarkan saja. Aku ambil sepeda motorku. Kuboncengkan ibu muda itu dan anaknya untuk kubawa ke rumah sakit,” sejenak kemudian aku terdiam.


“Terus gimana dengan anak itu. Apa dia tertolong ?” tanya teman-teman penuh semangat.


“Alhamdulillah, Allah masih memberikan pertolongan. Kata dokter, telat 30 menit saja keadaan bisa fatal ...,” sambungku sambil tak terasa mataku mulai berkaca-kaca.


“Dan antum semua tahu, siapa ibu muda itu ?”tanyaku. “Ibu muda itu adalah kakakku sendiri.”


Dan teman-temanpun berhamburan mendekatiku memohon maaf. Peluk dan linangan air mata haru mewarnai Sabtu siang itu.


....................................................................


Seringkali karena kebencian kita pada suatu kaum menjadikan kita tidak bisa berbuat adil pada kaum tersebut. Walaupun mulut kita mengatakannya sebagai ekspresi rasa cinta.


Kita menjadi mudah menjatuhkan pilihan untuk bersikap “mendzolimi” orang lain tanpa sebelumnya didahului pemikiran panjang. Kesimpulan-kesimpulan yang terbangun dari asumsi-asumsi sepihak seringkali lebih mendominasi daripada upaya untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.


Seandainya dalam banyak hal kita juga mau mendengarkan, melihat dan memahami sekumpulan fakta dari sudut yang berbeda, sungguh fenomena “penzholiman” itu semestinya bisa terhindarkan. Sungguh penilaian sepihak yang terkadang banyak salahnya itu tidak akan menjadi budaya.


Membudayakan Possitive Thinking dan Possitive Feeling (Khusnudzdzon) – dan itu adalah syariat Islam – dengan membuat seribu satu sudut pandang untuk menafikan penilaian awal yang negatif terhadap saudara kita, adalah suatu keharusan. Tidak bisa tidak ini harus dibudayakan. Budaya ini perlu ditumbuhkan untuk mereduksi adanya kemungkinan masuknya kepentingan orang-orang yang menghendaki hancurkan ukhuwah dan persatuan yang erat diantara sesama saudara.


Kalaupun toh belum ketemu juga sisi positifnya setelah seribu satu sudut pandang digelar, maka hal paling bijak setelah itu adalah dengan melakukan konfirmasi (tabayyun) langsung dari sumber beritanya.


Seorang teman mengatakan bahwa kalaupun dikonfirmasi maka tidak merubah apapun. Orangnya susah dikonfirmasi. Dan kami sudah yakin bahwa informasinya valid karena keluar dari orang yang dipercaya.


Masalahnya adalah, tabayyun hanya akan bisa dilakukan dengan baik oleh orang-orang yang mengawali segalanya dengan semangat khusnudzdzon. Tabayyun adalah mediasi untuk mencari kebenaran berita serta fakta, dan bukan mencari pengakuan dosa dari sumber berita. Karena mencari pengakuan dosa lebih dilandasi oleh prasangka buruk. Dan Prasangka buruk lebih dekat pada kesalahan, pada pendzoliman.


Pikiran dan hati yang positif akan membuka kanal-kanal tabayyun. Komparasi informasi dan fakta yang dilandasi oleh niatan dan perilaku baik, pada akhirnya insya Allah akan melahirkan hasil akhir yang baik.


Saat tabayyun – yang dilandasi oleh pikiran dan hati yang positif – terjadi, maka siap-siaplah untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya. Bukan mendapati diri kita sebagai pemenang yang berarti mendominasi arena kebenaran, serta mendapati orang lain sebagai orang kalah dan itu berarti dia adalah pihak yang paling bersalah.


Ya, mari mengedepankan Khusnudzdzon dan Tabayyun untuk setiap persoalan yang menimpa saudara kita.


Wallahu a’lam



Wednesday, November 05, 2008

Fingers Knight Story

Alkisah berkumpullah 5 jawara hebat di Negeri Hand. Kelima jawara tersebut adalah pendekar hebat tak terkalahkan yang selama ini telah berjasa mempertahankan negeri Hand dari serangan musuh. Akan tetapi raja sepertinya ingin memberikan penghargaan kepada pendekar terbaik dari kelima pendekar hebat yang ada. Sehingga akhirnya kelima pendekar itupun diuji kehebatannya dengan diadakan pertarungan secara terbuka.

Setelah seluruh rakyat dan penghuni istana negeri Hand sudah memenuhi lapangan tempat pertarungan kelima jawara terbaik negeri, maka pertarunganpun dimulai. Dan sebelumnya masing-masing pendekar diperintahkan raja untuk memperkenalkan kehebatan masing-masing.

Kesempatan pertama, tampillah Pendekar Jempol (Pendekar Ibu Jari). Dia mengatakan bahwa tidak ada yang lebih hebat darinya. Setiap kali manusia hendak memberikan ungkapan tanda kehebatan seseorang atau sebuah kejadian, maka yang diacungkan oleh tangan adalah Ibu Jari dan bukan jari yang lain. Diapun mengatakan bahwa tanpa dirinya – ibunya para jari – maka tidak akan mungkin ada jari yang lain. Tak lupa Pendekar Jempol juga memamerkan bentuk tubuhnya yang memang kelihatan lebih besar dan berisi dibandingkan jari yang lainnya. Dan setelah menyaksikan kehebatan Pendekar Jempol, maka seluruh pendudukan negeri Hand-pun memberikan tepuk tangan meriah dan mengelu-elukannya sebagai pendekar hebat.

Kemudian pada kesempatan kedua, tampillah Pendekar Telunjuk. Dengan gagah berani dia menunjukkan kehebatannya. Dia mengatakan bahwa setiap pemimpin ketika memerintah bawahannya pasti menggunakan jari telunjuk dan bukan jari lainnya. Dengan acungan jari telunjuk, maka semua bawahan akan menurut. Kemanapun jari telunjuk ini mengarah, kesitulah bawahan mengikuti. Ringkasnya, dibawah kendali Pendekar Telunjuk maka semua orang akan tunduk dan menurut. Tidak ada satupun yang bisa membantahnya. Dan setelah menyaksikan kehebatan Pendekar Telunjuk, maka kembali seluruh penonton memberikan sambutan yang riuh.

Giliran ketiga yang tidak kalah hebatnya adalah Pendekar Tengah. Seketika dia meminta kepada semua pendekar untuk berdiri, dan nyatalah bahwa Pendekar Tengah adalah pendekar tertinggi. Dan dengan jurus berdiri itulah kemudian Pendekar Tengah menjadi tak terkalahkan oleh pendekar yang lainnya. Dan seluruh penonton dibuat kagum oleh kehebatan jurus sang Pendekar Tengah yang menyambutnya dengan tepukan meriah.

Pada giliran keempat tampillah Pendekar Manis. Tak mau kalah dengan penampilan para pendekar sebelumnya, Pendekar Manispun mengeluarkan jurus pamungkasnya. Dia mengatakan bahwa setiap penghargaan hebat dalam bentuk cincin maka tempatnya pasti di jari manis. Cincin kawinpun dipasang di jari manis dan bukan dijari yang lain. Alangkah lucunya kalau ditaruh di jempol. Demikian kehebatan Pendekar Manis dengan jurus cincinnya membuat arena pertarungan semakin bergemuruh, seperti belum ada tanda siapa yang bakalan menjadi pemenang.

Sehingga sampailah pada giliran terakhir yaitu Pendekar kelingking. Ketika maju ke arena – tidak seperti pendekar lain yang langsung mempertontonkan kehebatannya – Pendekar Kelingking terlihat kebingungan. Mungkin dia tidak menyangka akan kehebatan jurus-jurus dari pendekar yang lainnya. Ketika penonton sudah mulai gelisah dan kelihatan brutal, tiba-tiba .... Kalau Pendekar Jempol hebat dengan jurus jempolnya, Pendekar Telunjuk dengan jurus telunjuknya. Kemudian Pendekar Tengah dengan jurus berdirinya dan Pendekar Manis dengan jurus manisnya, maka saksikanlah jurus hebatku. Demikian kata Pendekar Kelingking.

Tiba-tiba Pendekar Kelingking masuk ke hidung sang raja dan bergerak-gerak mengorek-korek hidung sang raja. Dan ketika keluar, Pendekar Kelingking membawa benda hitam yang menempel pada tubuhnya. Dengan bangga Pendekar Kelingking mengatakan, “ Tanpa saya maka hidung sang raja akan kotor dan terus kotor sehingga pada akhirnya raja tidak bisa bernafas. Tidak ada satupun dari pendekar yang lain berani masuk ke hidung sang Raja, apalagi Pendekar Jempol”. Mendengar itu maka seluruh penonton kembali memberikan sambutan meriah. Dan sepertinya keadaan seimbang untuk kelima pendekar yang ada.

Melihat bahwa hingga penampilan terakhir tidak ada yang menang, maka rajapun memberikan satu pertandingan lagi. Dan pertandingan terakhir adalah lomba menyapu lantai. Dan setelah lomba dimulai tidak ada satupun pendekar yang turun ke arena. Mereka cuma bengong dan tidak tahu harus melakukan apa. Setelah masing-masing memikirkan jurus andalannya tetapi tidak juga ketemu, maka akhirnya para pendekar itupun sadar bahwa mereka masing-masing tidak akan mampu menyelesaikan tantangan raja. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan itu adalah dengan adanya kerjasama diantara kelima pendekar itu dan menanggalkan ego kehebatan masing-masing. Dan tantangan raja itupun terselesaikan sudah.


..............................................................


Cerita ini jelas murni 100% fiktif. Akan tetapi keberadaannya sangat dekat dengan realita kehidupan kita. Tidak lain itu adalah penggambaran dari jari-jari di tangan kita. Kalau ditanyakan, lantas siapakah yang paling hebat ? Maka jawabannya ya jelas nggak ada yang paling hebat. Tetapi mereka akan menjadi jauh lebih hebat apabila ada sinergi yang baik diantara semua elemen jari yang ada.

Sebagai pribadi-pribadi yang utuh dan matang, barangkali masing-masing kita adalah orang yang hebat. Atau bahkan kita merasa paling hebat. Tetapi itu pasti hanya pada satu bagian saja. Sedangkan pada bagian yang lain, tentu saja belum tentu atau bahkan tidak sama sekali. Sehingga bisa jadi kita adalah jawara pada satu bidang atau bagian, tetapi kita menjadi pecundang pada bagian yang lain. Pada bagian yang lain itu ada orang lain yang menjadi jawara.

Ketika para jawara atau orang hebat itu hanya mengandalkan kekuatan dan kelebihannya sendiri-sendiri, maka pada satu kondisi dia tidak akan memberi manfaat sama sekali. Kehebatan dan kejawaraannya baru akan memberikan dampak yang serius ketika ada sinergi dan integrasi dengan kejawaraan orang lain. Sinergi dan integrasi yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah model kejawaraan baru, yaitu kejawaraan kolektif.

Islam mengajarkan kepada kita bahwa " Kebenaran yang tidak terorganisasi (tertata) akan bisa dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi (tertata)".

How About Us ....................



Monday, November 03, 2008

Reality Understanding

Saya sedang mengenakan lagi sepatu setelah selesai melakukan sholat dhuha di mushola fakultas. Sementara itu kami - saya dan teman lain yang berada di beranda mushola - bercanda sedikit yang seperti sudah menjadi rutinitas keseharian kami kalau bertemu. Pagi itupun serasa indah setelah kami melewatinya dengan aktifitas yang kami anggap positif.

Keceriaan pagi itu sontak berubah hening ketika tiba-tiba datang teman kami yang lain dengan berondongan omongannya.

"Mbang, kamu adalah orang yang dzolim. Kamu harus memper tanggungjawabkan semua kekacauan ini dihadapan Allah kelak .... ," yang segera saya potong karena memang terdengar nggak enak.

"Hei, ada apa ini. Duduk yang tenang dan ngomong yang jelas," balasku.

"Kamu orang dzolim. Kenapa para muslimah itu kamu biarkan berkeliaran di kampus ini, sementara orang tua dan keluarga mereka ada di kota yang lain. Kamu sebagai ketua BPPI (Badan Pengkajian dan Pengamalan Islam, semacam rohis di FE UNS) mestinya menyuruh mereka tinggal di rumah-rumah mereka masing-masing. Bukankan Allah menyuruh mereka tinggal di rumah-rumah mereka masing-masing," berondongan itu mengalir dengan deras dan cepat seraya mengacung-acungkan telunjuknya tepat ke arah mukaku, diselingi kutipan-kutipan ayat kitab Al Qur'an yang ditafsiri sekehendak dia.

Teman saya yang satu ini memang belum lama memiliki semangat untuk menata ulang hidupnya sesuai dengan tuntutan kitab suci (Al Qur'an) dan sunnah Rasululloh. Saya sendiri tahu persis bahwa dua semester yang lalu, bacaan Qur'annyapun masih berantakan. Saya tidak tahu apa yng ada dalam pemikiran dan keyakinannya sehingga tiba-tiba dia berubah menjadi seperti hakim yang siap memuntahkan semua fonis hukumnya pada orang lain.

Setelah dia berhenti memberondongku, giliran saya yang bertanya.

"Sekarang gini. Kalau anda nanti menikah, kemudian pada saatnya nanti istri anda hamil. Nah di sekitar anda ada 3 dokter yang bisa menolong persalinan istri anda. Satu dokter laki-laki, satunya lagi dokter wanita non muslim dan yang terakhir dokter wanita muslimah. Nah, kemana anda akan bawa istri anda untuk persalinan ?"

Dengan bangga dia menjawab, " Ya jelas saya bawa ke dokter wanita muslimah. Tidak mungkin aku bawa ke dokter laki-laki apalagi ke dokter non muslim".

"Oh begitu ya. Kalau begitu anda pembohong besar," potongku cepat.

"Anda tidak boleh menuduh saya sebagai pembohong besar," jawabnya penuh emosi.

"Gimana mungkin ada dokter wanita muslimah, kalau tidak ada muslimah yang kuliah. Karena untuk jadi dokter itu harus kuliah di kedokteran, ikut program Co Ass," timpalku lebih lanjut yang menjadikannya tambah bingung.

"Oke, oke. Saya mentoleransi kalau kuliahnya kedokteran. Tapi ini kita di ekonomi. Setelah lulus para muslimah itu akan bekerja di sektor publik. Padahal kewajiban bekerja kan ada pada para suami mereka .." lanjutnya mulai ngawur.

"Nah, kalau gitu ada dalilnya. Firman Allah: Wahai orang-orang beriman, jauhkanlah diri kalian dari berprasangka. Karena sebagian dari prasangka itu adalah kesalahan," sambung saya dengan membacakan ayat Al Qur'an ini dalam teks arab hingga selesai dan mengartikannya.

"Saya yakin anda belum pernah mengadakan survey untuk mengetahui apakah para muslimah itu akan bekerja atau tidak. Sehingga anda nggak boleh memfonis seperti itu," lanjutku kemudian.

"Pokoknya gini. Sebelum ada ayat yang mengatakan bahwa dihalalkan kuliah kedokteran dan diharamkan kuliah ekonomi, maka saya tidak akan mengikuti anjuran anda. Sepertinya anda perlu belajar agama lebih serius lagi," kataku sambil berdiri meninggalkan teman tadi yang mukanya mulai kelihatan memerah. Entah marah atau bingung saya juga tidak tahu.

Saturday, November 01, 2008

Just Answer It



Pada beberapa moment kehidupan yang saya jalani, sering muncul beberapa persoalan-persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik. Sebagiannya sangat menggelitik dan dibutuhkan jawaban dengan memutar otak lebih keras. Sebagiannya yang lain – entah bagaimana awalnya – Allah memberikan kemudahan untuk menjawabnya dengan baik.

1. Pekerjaan Tetap

Ketika hendak melamar wanita yang sekarang menjadi istri saya, calon mertua (camer) menanyakan satu hal setelah pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Camer : apa kamu sudah punya perkerjaan tetap .....

Saya : kalau pekerjaan tetap sih belum, tetapi saya tetap bekerja .....

Setelah menikah, istri saya bilang bahwa bapak (mertua saya) sangat kaget dengan jawaban saya waktu melamar. Bapak tidak menyangka dengan jawaban saya yang singkat, ceplas-ceplos dan berani tanpa pikir panjang.

Tetapi – masih kata istri – justru karena jawaban cepat dan berani itulah akhirnya bapak mantap menerima lamaran saya. Baginya, anaknya akan aman ditangan orang yang berani ambil resiko.


2. Gaji Pokok

Sewaktu menjadi Manager HRD di sebuah Sekolah Islam International di Jakarta dan diadakan sosialisasi tentang sistem kepegawaian, pada saat pembahasan tentang penggajian, ada karyawan yang bertanya :

Karyawan : Tadi bapak menjelaskan tentang komponen gaji. Kok komponen gaji pokok satuannya kecil dibanding total gaji. Memang gaji pokok itu apa sih pak ......

Saya : Gaji pokok itu yaa ..... pokoknya gaji. Ya gaji sekedarnya saja. Jadi ya ... kecil. Kalau ditambahin dengan tunjangan-tunjangan ya jadi besar. Gimana ...

Karyawan : Ohhhhhh .....

Setelah itu saya lihat karyawan tersebut menggaruk-garuk kepalanya berkali-kali. Saya tidak tahu persis apa yang ada dalam pikirannya.


3. Karyawan Tetap

Masih sewaktu menjadi Manager HRD, seorang karyawan baru bertanya :

Karyawan : Pak, untuk menjadi karyawan tetap syaratnya apa sih ...

Saya : Anda sudah bekerja minimal 2 tahun dan mendapatkan penilaian kerja yang baik. Memangnya ada apa ... Anda kan karyawan baru ...

Karyawan : Enggak kok pak. Tadi saya dengar kalau menjadi karyawan tetap itu akan mendapat banyak fasilitas.

Saya : Gini. Anda kepingin jadi karyawan tetap atau tetap karyawan ....

Karyawan : Emang bedanya apa Pak ...

Saya : Kalau karyawan tetap itu ya, anda kerja terus di sini. Kalau tetap karyawan ya, anda selamanya jadi karyawan walaupun tidak kerja disini.

Karyawan : Terus baikan yang mana ...

Saya : Kalau bisa jangan jadi keduanya. Enakan jadi bos.


4. Penghasilan Tetap

Dalam sebuah sesi seminar tentang Membangun Jiwa Entrepreneurship, saya melontarkan sebuah pertanyaan ice breaking.

Saya : Ibu-2, anda lebih suka pada suami yang punya penghasilan tetap atau tetap berpenghasilan ...

Ibu-2 : Ya jelas yang punya penghasilan tetap. Jadi ngatur pengeluarannya kan enak ...

Saya : Walaupun penghasilannya tetap kecil ...

Ibu-2 : (pada bengong dan sebagian ribut sendiri)

Saya : Tentu anda semua lebih suka yang tetap besar kan. Nah wirausahalah jalannya.


5. Kader Inti

Ketika diminta menjelaskan hirarki keanggotaan di sebuah partai politik – dimana dibedakan untuk mempermudah proses pembinaan kaderisasinya – seorang peserta bertanya dengan lugasnya.

Peserta : Tadi dijelaskan tentang adanya kader pendukung dan kader inti. Yang dimaksud dengan kader inti itu apa sih .....

Saya : Kader inti itu ya .... intinya kader.

Peserta : Maksudnya ...

Saya : Kalau kader pendukung sifatnya cuma mendukung, maka kader inti harus jadi penggerak utama roda organisasi. Jadi ya itu tadi, intinya kader.

Peserta : Oh .....


6. Konflik Ambon.

Saya diundang oleh teman-2 HMI Komisariat UNS untuk menjadi salah satu pemrasaran pada acara diskusi tentang konflik Ambon ketika berkecamuknya konflik horizontal di Ambon.

Tiba-tiba ada seorang peserta diskusi yang dengan sangat semangatnya mencecar dan membantai saya dengan argumentasinya.

Peserta : Semestinya kaum muslimin di sana tidak perlu menyerang balik, karena justru akan menimbulkan perang berkepanjangan tanpa henti. Muslim harus mengedepankan perdamaian sebagai perwujudan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin ...

Saya : (Sambil menatap tajam wajah si penanya, saya lempar dia dengan spidol yang saat itu saya pegang)

Peserta : (Setelah berusaha menangkis sekenanya) Kok anda marah begitu. Saya kan bertanya, jawab dong yang benar, bukannya anda marah begitu.

Saya : Mas, lemparan saya yang anda tangkis itu sakit nggak rasanya ...

Peserta : Ya enggak sih ... tetapi nggak benar anda lempar saya begitu ...

Saya : Seandainya mas tidak menangkis lemparan saya, kira-kira kalau spidol itu mengenai badan mas, sakit nggak rasanya ...

Peserta : Ya enggak juga, tetapi kenapa saya harus dilempar begitu ...

Saya : Gini mas. Anda tahu kalau dilempar spidol begitu tidak akan menimbulkan rasa sakit. Tetapi anda melakukan perlawanan begitu gigihnya. Anda marah-marah dan bahkan kalau tidak ditahan teman-teman yang lain, anda mungkin akan melawan saya.

Peserta : Habis anda kurang ajar, pakai lempar spidol segala ke saya. Emang saya salah apa. Orang cuma nanya ...

Saya : Sekarang bayangkan mas di Ambon. Di Ambon itu yang ada adalah pertaruhan hidup dan mati. Kalau tidak menyerang maka diserang, kalau tidak mempertahankan diri maka dibantai. Kalau tidak melawan, maka dihabisi.

Jadi kalau mas yang yakin lemparan saya tidak akan menyakiti tetapi begitu gigihnya mas melawan saya, begitulah yang terjadi dengan kaum muslim di Ambon. Tidak ada pilihan lain ...

Jadi Mas jangan berwacana saja yang berlawanan dengan realita yang mas tunjukkan sendiri baru saja ...

Peserta : (bengong tertunduk lesu) ......


Wait for next episode ...