Friday, November 14, 2008

I Just Wanna Say I Love You

Seorang teman dengan ekspresi sangat tertekan memendam keterpaksaan akhirnya membuka cerita pedihnya.


“Istri saya sekarang tidak sama dengan yang dulu,” ucapnya pelan memulai pembicaraan.


“Apanya yang tidak sama ?” tanyaku mencoba mengerti lebih jauh.


“Sekarang dia liar. Suka membantah kata-kataku. Sedikit ada perbedaan maka dia marah dan berani membentak. Kalau pergi keluar rumah sering nggak kenal waktu, terkadang jam 9 malam baru pulang. Kalau ditanya dari mana, bawaannya pasti marah-marah,” lanjutnya.


“Tidak jarang kudapati dia marah-marah terus dengan anak-anak tanpa kupahami penyebabnya. Pokoknya kacau dia sekarang,”lanjutnya lagi.


Bisa ditebak, teman yang satu ini membuka peluang perceraian di akhir curhatnya. Baginya itu solusi terbaik mengingat usahanya selama ini untuk mempertahankan biduk rumah tangga dirasakannya sia-sia belaka.


“Sudahlah, kamu pulang dulu ke rumah. Temui anak-anakmu. Kalau kamu ingin cerai boleh saja, tapi jangan sekarang. Nanti aja kalau sudah tenang,” imbuhku sambil menepuk-nepuk pundaknya mencoba menenangkan.


“Besok kalau ada masalah lagi, boleh datang ke sini lagi,” sambungku lagi.


..............................................................


Seminggu berikutnya ......


“Tamat sudah pernikahanku, diapun minta cerai dariku”, ceritanya dengan luapan emosi yang tertahan. Setelah itu diapun terdiam, lama.


“Kamu benar mau bercerai ? kalau ya, ya sudah aku bantu ngurus perceraian,” timpalku memecah keheningan.


Seketika wajahnya terangkat. Pandangannya kosong. Mukanya memerah dan dahinya mengernyit menyiratkan keheranan yang sangat.


“Kok kamu malah mau bantu ngurus perceraian sih ...?”tanyanya kemudian.


“Kan kamu sendiri yang bilang mau cerai. Sebenernya kepengin cerai nggak sih ?”tanyaku lagi.


“Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya nggak pengin. Tapi kelakuannya itu loh yang nggak bisa ditoleransi,”tambahnya lagi.


“Tapi mau bercerai nggak nih jadinya,”tanyaku lagi.


Setelah merenung panjang akhirnya diapun menjawab dengan terbata-bata,”beneran, saya nggak ingin cerai. Walaupun bayangan untuk bercerai selalu hadir menghantuiku,” akunya lagi.


“Kalau memang nggak ingin bercerai maka aku juga mau bantu supaya kamu nggak jadi cerai. Mau nggak?”tanyaku memojokkan yang segera dijawabnya dengan anggukan kepala lesu.


“Kalau gitu tolong jawab pertanyaanku baik-baik,”pintaku lagi.


“Dalam 10 tahun perkawinanmu, sejak kapan kamu merasa ada yang salah dengan pernikahanmu,”tanyaku. “Sejak 2 tahun yang lalu, tepatnya setelah istri saya kerja kantoran,” jawabnya cepat.


“Apa yang membuat kamu berpikir bahwa ada masalah dengan perkawinanmu,”tanyaku lagi.


“Ya itu tadi, istriku mulai bermasalah,”tambahnya.


“Apa saja perilakunya yang kamu anggap bermasalah sampai kamu berpikir untuk bercerai,”tanyaku mencoba menggali lebih dalam lagi.


“Ya seperti yang saya sebutkan tadi. Dan sebenarnya masih banyak lagi yang lain. Tapi sudahlah, disebutin juga Cuma bikin hati lebih ndongkol,” jawabnya cepat.


“Dan dua tahun terakhir ini kamu selalu mengingat-ingat perilaku “buruk” istrimu itu ?”tanyaku.


“Tentu lah, karena saya yang merasakan langsung akibatnya,” jawabnya.


“Ok. Tadi kamu bilang dari 10 tahun pernikahan, baru 2 tahun belakangan yang terasa kaya di neraka. Berarti sebelumnya baik-baik saja dan bahagia dong,” lanjutku.


Tiba-tiba raut muka teman itu berubah. Wajahnya sedikit memancarkan keceriaan dan sunggingan senyumnya mengekspresikan kebahagian yang mungkin selama ini dirasakannya telah hilang. “Ya, sebelumnya kami hidup bahagia mesti banyak kekurangan. Ingin rasanya merasakan kembali masa bahagia itu...” demikian lanjutnya lagi.


“Kamu ingin merasakan kebahagiaan itu lagi ... “kejarku menegaskan.


“Ya. Saya sungguh merindukan masa-masa bahagia itu,” sambungnya lagi.


“Boleh tahu kapan waktu yang paling membahagiaan dalam rentang waktu pernikahanmu,” tanyaku.


Seperti mencoba mengingat kembali perjalanan perkawinannya, diapun terdiam sejenak. “Sekitar masa 1 tahun pertama pernikahan. Itulah yang saya pikir waktu paling membahagiakan kami,”jawabnya lagi.


“Baik. Kamu masih ingat, apa saja yang kalian lakukan pada masa satu tahun pertama sehingga kamu merasa itu adalah masa pernikahan paling membahagiakan,” tambahku.


Tanpa pikir panjang maka diapun menceritakan detail peristiwanya satu persatu. Tidak ada lagi ekspresi tertekan dan stress. Kini ekspresi kebahagiaan benar-benar telah menggantikannya. Berkali-kali dia tertawa lepas. Sementara saya mencoba mendengarkan dengan baik semua ceritanya.


Setelah selesai menceritakan episode perkawinan yang paling membahagiakan, akupun mengatakan. “Nah sekarang pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, tolong, apapun yang dilakukan oleh istrimu jangan dipikirkan. Kalau kamu merasa nggak kuat dan mau marah, segera tinggalkan istri anda dan cari tempat yang tenang. Mulai sekarang, jangan fikirkan hal-hal yang jelek dari istri kamu. Tapi pikirkanlah masa-masa bahagiamu itu. Ingatlah keadaan istri pada saat itu. Terus pikirkan masa bahagia itu. Oke ?” demikian saranku mengakhiri sesi curhat malam itu yang dijawab dengan anggukan mantap dan tidak lupa, senyum yang mengembang.


..................................................................


Tanpa sepengetahuan teman tadi, sang istripun datang kepada saya dan menguraikan masalah rumahtangganya yang dikatakannya berantakan dari sudut pandangnya. Kepadanya juga saya tanyakan dan saya sampaikan apa-apa saja sama persis dengan apa yang saya katakan kepada suaminya. Supaya dia lebih mengingat masa-masa bahaia dengan suaminya dan mengingat kebikan-kebaikan suaminya yang dulu membuatnya sangat berbahagia.


..................................................................


Seminggu, dua minggu saya menunggu tetapi teman itu tidak kunjung datang. Berbeda dengan waktu sebelumnya yang hampir tiap 3 hari sekali datang dan menumpahkan begitu saja perasaannya kepadaku.


Ketika kedatangannya lagi sudah tidak ada dalam agenda saya, secara tiba-tiba teman itu muncul. Hal yang paling membuat aku bahagia adalah bahwa dia datang dengan istrinya yang selama ini sering disebutnya liar.


Saya mencoba melihat kalender dan, ya. Sudah 4 bulan mereka nggak dateng. Tapi sekarang ....


“Sepulang dari sini sekitar 4 bulan yang lalu, aku benar-benar mencoba melakukan apa yang kamu katakan,” demikian teman itu membuka pembicaraan.


“Berkali-kali istriku memancing emosiku, membuatku jengkel, mengata-ngataiku dengan umpatan yang keji. Tingkahnya semakin liar ...” lanjutnya yang diikuti dengan senyuman kecil istrinya yang duduk di sampingnya. Setelah santai iapun melanjutkan.


“Tapi seperti nasihatmu, aku nggak pikirin itu semua. Yang aku pikirkan tentang istriku adalah kebaikan-kebaikannya dulu yang menjadikanku bahagia. Makanya segala perilakunya yang menjengkelkan aku diamkan saja. Bahkan sebagiannya aku balas dengan senyuman,” sambungnya sambil sesekali melemparkan pandangannya ke arah istrinya.


“Sekali dua kali itu berjalan. Istri tetap dengan perangai awalnya. Sampai akhirnya keajaiban itu terjadi. Sebulan yang lalu, bayangan istriku yang aku miliki saat masa-masa bahagia dulu tiba-tiba muncul.”


“Kata-kata umpatannya berganti dengan sapaan menyejukkan, tuduhan-tuduhan kejinya berganti menjadi ungkapan maaf penuh cinta, tatapan kemarahannya berubah menjadi tatapan penuh kasih ... ,” dia terhenti sejenak. Disekanya butiran air mata yang mulai berlinang.


“Dalam hati ini, aku bergumam bahwa istriku telah kembali ..” lanjutnya.


Tiba-tiba istrinyapun menimpali,” Sepulang dari sini, aku mencoba mengikuti saran-saran anda. Tapi itu terasa sangat sulit. Setiap kali mencoba mengingat kebaikan suami, yang terlintas dikepalaku kemudian adalah sikap arogan dan diktatornya. Jadilah perilaku apa yang dikatakan suami sebagai “liar” selalu muncul dan muncul lagi.”


“Entah berapa kali saya seperti kesurupan, melampiaskan nafsu kemarahan tanpa kenal waktu. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa ada yang berubah dengan suami saya. Sudah beberapa bulan saya perhatikan tidak ada perlawanan darinya. Sehingga lama-lama saya malu juga ketika sadar bahwa saya ngcau sendirian.”


“Penasaran akan keadaan itu, maka akupun memberanikan diri untuk bertanya pada suami. Dan dia ceritakan semua kembali masa-masa indah dulu. Kami saling bercerita tentang kebaikan satu sama lainnya. Sehingga pada akhirnya, kami lebih tertarik untuk menghiasi hari-hari kami dengan kebaikan dan kelebihan pasangan,” ceritanya penuh haru.


“Dan hari ini tidak ada lagi alternatif pilihan cerai. Kami telah hapus pilihan itu. Dan atas semuanya, kami ucapkan terima kasih atas sarannya,” ucap sang suami diiringi jabat tangat erat dan peluk hangat penuh rasa cinta.


......................................................................


Kita sering obral kata-kata cinta. Akan tetapi cinta memang harus diungkapkan. Cinta memang harus dinyatakan. Cinta tanpa torehan kata, maka akan menjadi tak berbalas. Cinta tanpa ungkapan lisan, maka akan berujung kegalauan. Bahkan sebagian besar kaum wanita akan menjadi berbunga-bunga hatinya saat mendapatkan ungkapan kata CINTA dari orang yang dikasihinya.


Akan tetapi, kata saja tidaklah cukup. Seringkali lisan berucap cinta, tapi tangan berkata sebaliknya. Walaupun tetap dalam bungkusan ungkapan cinta.


Berapa banyak suami yang “atas nama cinta” menjadi seperti diktator yang mengatur tanpa kompromi semua detail kehidupan istrinya. Yang dengan perilaku “atas nama cinta” itu sang istri menjadi terluka.


Tidak sedikit para bapak yang “atas nama cinta” kemudian membungkam kreatifitas anaknya atas nama kehidupan yang disiplin dan penuh keteraturan. Yang dengan perilaku “atas nama cinta” itu sang anak menjadi tersakiti.


Adakah cinta sejati kan berujung luka yang menganga serta menyakiti jiwa dan raga orang-orang yang dikasihi. Ataukah cinta kan menutup luka dan membangkitkan jiwa-jiwa yang bahagia ?


Sepertinya ungkapan kata dan semburat pikiran cinta itu tidak boleh berhenti disitu. Ianya harus segera berujud pada rasa penuh cinta dan raga penuh cinta.


Segenap perasaan kita terhadap orang-orang yang kita kasihi harus mengekspresikan dominasi cinta. Raga kita juga harus menjadi penterjemah paling fasih terhadap kata cinta.


Tanpa keikutsertaan segenap perasaan dan peran total jasad ragawi kita, maka ungkapan dan pikiran cinta itu tidak akan membuahkan hasilnya. Ia hanya akan sebatas jargon tanpa makna, sebatas asa tanpa hasil, sebatas slogan tanpa realita.


Cinta hanya akan menemukan maknanya ketika segenap perasaan kita terhadap orang-orang yang kita cintai selalu didominasi oleh cinta, dan raga membenarkannya dengan perilaku yang berjalan diatas kamus cinta. Sekedar kata dan asa, cinta akan kehilangan jiwanya.


Dan kedua suami istri diatas telah menemukan kembali cintanya yang hilang.

Wallahu a’lam bishowab.

No comments:

Post a Comment