Thursday, October 30, 2008

Amazing Hope

Sudah dua hari belakangan ini ingin rasanya aku tumpahkan tumpukan pertanyaan pada bapak.

Pertanyaan demi pertanyaan yang akan sangat menentukan wajah masa depanku kelak. Tetapi demi melihat wajah bapak yang nampak kosong seperti tidak menyisakan jawaban yang sekiranya bakalan memuaskanku, ditambah dengan badan lesu yang kelihatan gontai selama beberapa pekan belakangan ini, tak tega rasanya mulut ini tuk berucap tanya. Dan untuk kesekian kalinya aku urung menanyakannya pada bapak. Menunggu saat yang tepat untuk tidak menambah beban pikiran bapak lebih berat, barangkali itulah sederet kalimat penawar gundah hati yang membara.

"Tetapi, waktunya tinggal 3 hari lagi buatku untuk membayar biaya daftar ulang masuk perguruan tinggi di Fak Ekonomi UNS Solo", demikian gumamku gundah sambil mondar-mandir garuk-garuk kepala yang tidak lagi terasa gatal. "Ini adalah kesempatanku untuk kuliah, sesuatu yang sudah lama kuimpikan. Tetapi hingga hari ini akupun belum yakin apakah impian yang sudah di depan mata itu bisa kuraih. Sementara untuk mencukupi kebutuhan harian saja, sudah 4 bulan ini kami selalu berhutang kepada tetangga", gumamku lirih.

........................................................................................

Sekitar 6 bulan yang lalu, keadaan ekonomi keluargaku bak terkena sapuan arus tsunami. Baru saja kami sekeluarga menerima kabar gembira lantaran bapak memenangkan tender pengerjaan proyek penyediaan kebutuhan mebel untuk mengisi kebutuhan proyek SD Inpres se kabupaten Cilacap. Tetapi seketika kegembiraan yang masih segar itu seketika hilang berganti sedih dan penuh kekalutan.

Agaknya bapak kurang mengikuti update harga-harga bahan terutama kayu, karena selang seminggu setelah penandatanganan kontrak, muncul regulasi baru harga kayu dengan peningkatan kenaikan harga hingga 100 % lebih. Sehingga secara kasat mata, proyek yang semestinya memberikan keuntungan besar seketika berubah menjadi monster mengerikan yang memunculkan kebangkrutan. Bapak rugi besar sebelum proyek itu dikerjakan.

Kami semua sempat memberikan opsi kepada bapak untuk meminta penangguhan proyek atau penyesuaian harga. Tetapi upaya itu tidak membuahkan hasil. Kamipun memberikan dorongan kepada bapak untuk mundur dari proyek, tetapi bapak tidak menyetujuinya. Bagi bapak, karena kontra sudah ditandatangani, maka satu-satunya jalan adalah dilaksanakan. Meski untuk itu harus menanggung kerugian besar.

Ketika kami menunjukkan protes keras akan sikap bapak yang memilih menanggung kerugian, bapak berujar, " bapak sudah bisnis di mebel ini sejak 20 tahun yang lalu. Dua kali kebangkrutan pernah bapak alami, sebagaimana mendapatkan keuntungan besarpun pernah dan sering kita dapatkan. Dan bapak masih akan terus bergelut di bisnis ini paling tidak untuk 20 tahun ke depan. Kalau bapak memutuskan untuk mundur secara sepihak, maka besok-besok tidak akan ada lagi yang percaya dengan kredibilitas bisnis bapak. Dab segera setelah itu bisnis bapak akan hancur". Karena kami semua sangat hafal akan sikap dan pendirian bapak, maka kami semua sebagai anaknya hanya mengangguk mengiyakan.

.........................................................................


Dengan mencoba menjaga ritme pembicaraan dan tetap tenang, kuberanikan diri menyampaikan kegelisahan ini demi sebuah jawaban pasti.


“ Pak, maaf sebelumnya. Aku cuma mau tanya masalah biaya daftar ulang kuliah saya. Kan tinggal tiga hari lagi batas waktunya. Gimana ya Pak, sudah ada atau belum uangnya. Kalaupun nggak ada ya nggak papa. Masih bisa ikut test lagi tahun depan,”


Dengan lemas bapakpun menjawab,” Ya, sampai sekarang bapak belum ada uang untuk biaya daftar ulang kamu. Buat makan hari inipun juga belum ada.” Bapak tetap berusaha tersenyum dalam menjawab pertanyaanku. Setelah terdiam dan menarik nafas panjang beberapa saat,” Kamu sabar saja ya. Bapak masih yakin bahwa kamu akan kuliah tahun ini. Bapak yakin Allah akan kasih rejeki untuk biaya kuliah kamu, walaupun bapak sendiri tidak tahu kapan dan dari mana”, sambung bapak sambil menepuk pundakku.


........................................................................


Hari masih pagi – sekitar pukul 08.00 – ketika tiba-tiba pintu rumah kami diketuk. Ketika pintu kubuka, ternyata yang datang adalah Mas Fahri. Dia adalah teman lama kakakku waktu di SMA. Sudah 4 tahun lebih dia tidak main ke rumah. Terakhir dia datang ke rumah ketika berpamitan hendak pergi meneruskan studinya ke luar kota. Setelah lulus dari studinya ternyata dia memutuskan kembali ke Tegal dan mulai merintis pendirian sekolah, sesuatu yang sejak dahulu dicita-citakannya.


Dan setelah sedikit berbasa-basi kangen-kangenan, Mas Fahripun mengutarakan keperluannya. “Maaf sebelumnya, berhubung saya ada janjian lagi, maka langsung saja saya sampaikan maksud kedatangan saya ke sini. Pak Kus, saya mau pesan seperangkat kebutuhan mebel untuk kebutuhan sekolah baru saya.” Setelah mengutarakan spesifikasi dan terjadi proses tawar menawar harga dengan bapak, Mas Fahripun menyampaikan,” Karena harganya sudah sepakat, maka saya bayar sekarang saja total pembayarannya.”


Saya dan bapak tertegun. Hampir 4 bulan bisnis mebel bapak tidak berproduksi. Silih berganti orang datang mau memesan mebel bapak, tetapi selalu gagal. Dan hari ini ketika matahari belum lagi tinggi, tiba-tiba datang seorang yang sudah lama tidak datang. Tanpa banyak menolak tawaran spesifikasi dan harga dari bapak, diapun menerima sepenuhnya dan membayarnya segera.


.........................................................................


“Ayo, sekarang segera kemasi pakaian kamu. Siapkan syarat-syarat administratifnya. Siang ini juga kamu harus berangkat ke Solo. Kan besok adalah hari terakhir pembayaran daftar ulang untuk kuliahmu,” sambung bapak dengan senyum merekah diselingi mata yang berkaca-kaca.


Tak kuasa kutahan linangan air mata bahagia bercampur haru, kusalami dan kuciumi tangan bapak. Hari itu adalah satu dari hari-hari paling membahagiakan dalam hidupku. Akhirnya keinginanku untuk kuliah tergapai juga.


..........................................................................


Dalam dekapan rasa haru, mengiringi keberangkatanku ke Solo, bapak menitipkan pesan.


“Kita boleh saja kehilangan semua harta yang kita miliki, sehingga tak tersisa lagi orang yang menghormati kita karena kemiskinan yang kita rasakan.


Kita juga boleh kehilangan semua sanak saudara yang kita miliki, lantaran tidak ada lagi saudara yang mau dekat dan menolong kita karena predikat miskin yang kita miliki.


Dan kita juga nggak masalah kehilangan semua jabatan yang kita miliki, lantaran tidak ada lagi orang yang menaruh rasa percaya pada keberadaan kita.


Boleh, semuanya boleh menghilang dari sekitar kita.


Yang tidak boleh hilang dari kita adalah HARAPAN.


Harapan untuk terbitnya sinar yang menerangi setelah kegelapan panjang yang mencekam. Harapan untuk hadirnya kemudahan, setelah kesulitan demi kesulitan yang selalu hadir seperti tak berujung. Harapan akan munculnya kebahagiaan , setelah penderitaan-demi penderitaan yang mendera kita.


Kita harus terus memiliki harapan-harapan itu, apapun kondisinya. Kita harus terus percaya bahwa Allah akan selalu memberikan kebaikan dan kemudahan setelah kesulitan. Karena harapan yang selalu ada dalam dada dan pikiran manusia akan mampu membakar semangat hidupnya menjadi lebih membara dan bergairah.


Harapan yang selalu memancar akan mampu menjadikan manusia menjadi lebih kreatif untuk selalu menemukan jalan dan cara-cara baru untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Dan dengan harapan yang selalu menyala, akan mampu menuntun kita dari kegelapan demi kegelapan kepada cahaya kebahagiaan. Akan mampu mengurai kesulitan demi kesulitan menjadi kemudahan. Akan mampu mencairkan kebuntuan demi kebuntuan hidup menjadi laksana air yang mengalir tanpa mengenal berhenti.


Tanpa harapan, manusia akan mudah putus asa. Tanpa harapan, hidup ini menjadi tidak memiliki gairah untuk maju. Dan tanpa percaya pada harapan, manusia akan menemukan jalan buntu dan kebekuan.


Dan pada saat yang tepat Allah pasti akan mengabulkan harapan-harapan dan permohonan kita. Percayalah.



Wallau a’lam