Saturday, April 05, 2008

Long Term Thinking

Saya masih kelas 3 SD – kalau tidak salah – ketika bapak saya mengalami kebangkrutan besar dalam bisnis mebelnya.


Setelah melalui proses tender yang alot, akhirnya bapak memenangkan tender pengerjaan proyek penyediaan peralatan mebel inpres sekolah SD baru se Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Awalnya kami semua – terutama bapak – merasakan kegembiraan yang tak terhingga. Terbayang oleh kami sekeluarga limpahan rizki berupa keuntungan usaha yang akan didapatkan.

Akan tetapi agaknya Allah berkehendak lain. Bapak melakukan kekeliruan fatal dalam perhitungan proyeksi bisnisnya. Sebetulnya ini bukanlah kesalahan bapak semata, bapak hanya kurang sensitive dengan perkembangan regulasi pemerintah ORBA pada waktu itu. Agaknya tepat sehari sebelum bapak memenangkan tender, pemerintah melalui departemen kehutanan membuat regulasi baru tentang kenaikan drastis harga-harga produk hasil hutan terutama kayu jati. Dan bapak tidak tahu adanya regulasi baru ini.

Jadilah sejak hari pertama memenangkan tender itu, bukannya bayangan keuntungan yang akan kami dapatkan tetapi setumpuk kerugian bahakan kebangkrutan yang akan kami sekeluarg a dapatkan. Dan benar adanya, secara bisnis bapak mengalami kebangkrutan.

Ketika saya sudah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, bapak menceritakan bahwa waktu itu seluruh asset keluarga dilego untuk menutupi potensi kerugian yang ada. Rumah, mobil, simpanan perhiasan dan apapun yang bisa untuk menutupi kerugian kami bapak jual.

Saya masih ingat bahwa pada episode ini bapak tidak berani tidur di rumah pada waktu malam hari demi menghindar dari terror para debt collector yang sudah sangat-sangat gerah dengan kenyataan bapak yang tidak bisa segera melunasi tanggungan hutangnya. Bapak memilih menginap di kuburan umum yang terletak tidak jauh dari rumah tempat kami tinggal.

Bagi kami anak-anaknya, tidaklah mengagetkan kalau dalam sehari kami hanya bisa mendapati makan cuma sekali. Itupun dengan menu seadanya. Terkadang kami – saya dan adik-adik saya – yang belum tahu apa-apa harus berpuasa karena memang sudah tidak ada lagi yang bisa kami makan. Kalau sudah begini, ibu (almarhumah) hanya bisa menangis tidak tega melihat anak-anaknya yang masih kecil pulang sekolah dalam kondisi lapar – karena ketika berangkat tidak sarapan – dan ketika membuka tudung makanan diatas meja ternyata juga kosong. Saya sering tertidur lemas karena lapar menunggu bapak yang tidak kunjung datang bawa makanan.

Suatu kali saya bertanya sama bapak mengenai kelanjutan proyeknya pada waktu itu. Dan jawaban mengejutkan meluncur dari mulut bapak,” Alhamdulillah akhirnya bapak bisa menyelesaikan proyek itu tepat waktu dan presisi yang sama dengan kontrak yang tertera, walaupun sepertinya kita sekeluarga harus berdarah-darah”.

Bapakpun melanjutkan,” Bapak bisa saja sebetulnya membatalkan proyek tersebut pada awal-awal bapak memenangkan tender. Toh belum ada belanja bahan dan tukang. Bapak paling hanya kena pinalti biaya-biaya pembatalan tender.

Tapi kalau bapak lakukan itu maka berhentilah bisnis bapak dimasa depan. Hampir pasti bapak akan susah mendapatkan proyek lagi karena dinilai tidak perform dan kurang berani menanggung resiko.

Makanya bapak tetap ambil dan kerjain proyek itu sesuai dengan kontrak yang ada dengan segala resiko buruk yang akan ada. Tentunya setelah bapak sharing dengan ibu dan kakak-kakak kamu.

Bagi bapak bisnis harus diniatkan untuk jangka panjang. Jangan berpikir bisnis untuk jangka pendek. Maka ambilah keputusan bisnis yang memiliki dampak positif dalam jangka panjang. Jangan hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek saja, karena akan berdampak buruk dalam jangka panjang.

Tugas kita sebagai manusia adalah memastikan bahwa semua prasarat yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan terpeuhi. Adapun hasilnya adalah ahk Allah untuk menentukan. Allah hanya akan memberikan balasan sebagai hasil dari semua upaya kita sesuai dengan upaya kita, Nggak kurang dan nggak lebih”.



No comments:

Post a Comment