Friday, April 04, 2008

Anger Management



Jam masih menunjukkan pukul 03.30 pagi ketika HP saya berdering. Dalam kondisi masih mengantuk dengan di terpa udara dingin lereng Merapi – saat itu saya sedang ada event Pelatihan bersama Microfin Indonesia di Kaliurang Yogyakarta – sayapun bangun meraih HP yang terus ber dering.


Awalnya saya kira itu bunyi alarm yang memang saya hidupkan pada jam yang sama. Setelah saya lihat, ternyata itu adalah panggilan masuk dari seorang kawan di Bandung, Hadi namanya.


Si Hadi – kawan saya yang satu ini – adalah seorang wiraswasta ulung dengan daya inovasi tinggi dan rasa percaya diri tanpa tanding. Saya mengenalnya belum lama, baru dalam hitungan jalan 2 tahun. Tapi karena seringnya berinteraksi dalam berbagai kesempatan, kami serasa dekat sekali. Hampir-hampir setiap sudut persoalan kehidupan kami tidak tertutupi oleh kami berdua. Tentu dalam upaya mencari solusi yang baik.


Tetapi pagi itu di bulan Mei 2007, saya menangkap suara berat dari ujung telepon sana tidak seperti Hadi yang saya kenal. Nada bicaranya berat dan sering tercekat, suaranya terdengar parau dan kadar semangatnya hanya sekitar 50 persenan saja. Sepertinya Hadi sang bisnisman yang gagah itu sedang menanggung beban berat.


“ Saya mau tutup unit bisnis Kursus saya, dan saya pecat semua karyawannya. Saya bubarkan saja semuanya. Tidak ada satupun yang bisa bekerja dengan baik dan benar. Sungguh saya tidak bisa bekerja dengan mereka. Mereka bisanya ngrepotin saya saja”, belum sempat mata ini sempurna terbuka sudah mendapat berondongan keluh kesah dari hadi.


“ Menurut kamu gimana Mbang”, lanjutnya.


“Kalau kamu maunya begitu, bubarin aja bisnis yang sudah belasan tahun kamu bangun. Pecat semua orang yang ngrepotin dan selesai sudah episode epic tentang seorang gagah berani dalam dunia bisnis yang bernama Hadi”, sahutku sambil sesekali menahan kantuk.


Dengan nada agak kesal Hadipun melanjutkan,” Mbang, saya tuh serius tentang bisnis saya. Itu kenapa sepagi ini saya kontak kamu. Tapi kamu koq ngasal gitu responnya !!!”


“Siapa bilang aku gak serius. Aku tuh serius banget Hadi dengan kata-kataku. Kapan sih yang aku gak serius untuk urusan sama kamu”, lanjutku meyakinkan.


“ Gini Hadi, aku lagi ada Training di Kaliurang. Lusa saya balik ke Jakarta. Kita bicarakan lagi di Jakarta lusa ya. Dan ingat, jangan terusin dulu omongan kamu ini sebelum ketemu aku di Jakarta. Okay ?” lanjutku kemudian.


………………………………………………………


“ Ceritain dong Hadi, ada apa dengan orang-orangmu itu,” sergahku begitu ketemu dengan Hadi di Jakarta.


“ Seperti sudah ku bilang kemarin bahwa, mereka tidak ada yang bisa bekerja dengan saya. Mereka cuma bisa ngrepoti, cuma bisa bikin kacau bisnis. Nggak ada perlunya mereka dipertahankan,” sambutnya dengan penuh semangat.


“ Benar mereka tidak ada yang bisa bekerja dengan baik ? Coba ingat-ingat lagi masa ketika bisnis kamu booming. Mereka-mereka juga kan yang ngerjain ?


Coba ingat juga apa saja yang mereka kerjain, apa benar yang mereka lakukan Cuma ngrepotin kamu, apa benar tidak ada produktifitas kebaikan yang mereka lakukan ?


Apa juga benar kerjaan mereka Cuma bikin kacau perusahaan, apa benar tidak ada satupun dari mereka yang memberikan kontribusi positif ?” berondongan pertanyaanku kepada Hadi.


Sejurus kemudian Hadipun menjawab,” Ya ada sihdari mereka yang bagus, produktif. Dan terkadang memang mereka cukup loyal dan progresif. Hasil kerja mereka terkadang juga lumayan bagus. Cuma masalahnya, mereka baru bisa memberi hasil yang positif kalau aku yang memberikan perintah, aku yang harus bombing terus. Tidak ada kreatifitas mereka. Selalu menunggu dan menunggu terus perintah dan arahanku. Lama-lama aku kan stress Mabng … !!!”


Akupun menimpali,” Loh, bukankah memang model seperti ini yang kamu inginkan. Bukankah kamu yang selalu bilang sama karyawan kamu supaya ikut saja yang kamu perintahkan. Bukankah kamu selalu bilang yang penting ikuti saja perintahmu. Yang penting taat saja.


Bukankah kamu juga yang sering marah-marah dengan bawahan kamu ketika melihat hasil kerja mereka yang kurang pas dengan detail yang kamu inginkan.


Bukankah kamu yang memaksa kondisi kerja di bisnis kamu menjadi Hadi Sentris, yang menghasilkan orang-orang taat yang selalu menunggu petunjuk dan arahan kamu demi kepuasan presisi yang kamu inginkan.”

……………………………………………..


Aristoteles mengatakan :


Marah adalah sesuatu yang mudah kita lakukan. Yang sulit adalah marah kepada orang yang tepat, karena sebab yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan cara yang tepat, dengan kata-kata yang tepat dan untuk tujuan yang tepat.


Yang banyak kita lakukan adalah marah bukan pada orang yang tepat, oleh sebab yang tidak tepat, juga bukan pada waktu yang tepat. Apalagi pada tempat yang tidak tepat, cara kita marahpun tidak tepat, kata-kata kemarahan kitapun juga tidak tepat dan yang paling menyedihkan adalah kita marah untuk tujuan yang tidak tepat.


Seandainya kita semua memikirkan kepada orang yang tepat, karena sebab yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan cara yang tepat, dengan kata-kata yang tepat dan untuk tujuan yang tepat, sebelum kita mengekspresikan kemarahan kita, maka barangkali kita tidak akan sempat lagi marah-marah.


Kalaupun kita harus marah, maka kemarahan kita adalah kemarahan yang memberikan kontribusi positif dan menyelesaikan sebagian masalah kita.


Betapa banyak kita saksikan kesemrawutan kehidupan kita yang muncul sebagai hasil dari keputusan-keputusan yang dilandasi oleh kemarahan buta. Kita baru menyesal sejadi-jadinya setelah menyadari apa yang telah kita lakukan dikarenakan sebab marah. Dan sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa terkadang biaya financial dan biaya social yang ditimbulkan oleh kemarahan kita sangat mahal.


Ibarat kita memaku tembok atau kayu. Walaupun paku tersebut sudah kita cabut, tetapi yang pasti akan meninggalkan lubang bekas paku. Begitulah efek yang ditimbulkan oleh kemarahan kita. Walaupun kita sudah meminta maaf kepada orang yang kita marahi, akan tetapi pasti sudah meninggalkan bekas luka dihati orang tersebut yang pastinya tidak mudah hilang.

..............................................


Si Hadipun bertanya lagi,”Terus kalau saya lagi marah-marah, gimana caranya buat ngerem ?”


Marah itu juga sangat dipengaruhi oleh kondisi dan posisi fisik kita. Maka kalau ingin berhenti dari kemarahan kita, rubahlah posisi atau kondisi fisik kita.


Kalau ketika marah kita sedang berdiri, maka segeralah duduk. Apabila kita marah ketika sedang duduk, maka segeralah berdiri. Apabila masih tetap saja diliputi kemarahan, maka pergilah dan tinggalkanlah apapun yang bisa menyebabkan kemarahan. Bila tetap saja diliputi kemarahan, maka ambillah air wudlu (bagi muslim) dan segeralah sholat dua rakaat. Minta kepada yang Maha Menguasai hati kita supaya hati kita berada dalam bimbingannya.


Jadi, temukan seribu satu alasan yang benar dan tepat sebelum kita memutuskan untuk “marah”. Seandainya bagi kita terlalu susah menemukan alasan yang tepat dan benar, segera putuskan untuk menyelesaikan urusan tidak dengan marah-marah.


No comments:

Post a Comment