Sadar bahwa hari itu saya tidak bawa SIM, saya sedikit kaget. “ Bakal kena tilang nih”, gumamku. Setelah sejenak tetap jalan, akhirnya tibalah giliranku diberhentikan oleh petugas. Dan sapaan rutin petugaspun dimulai.
“ Selamat siang Pak”, sapa polisi.
“Bisa lihat surat-suratnya ?” lanjutnya.
“Boleh Pak, silakan”, jawab saya sembari membuka dompet untuk mengambil STNK dan SIM. Dan ketika melihat bahwa saya tidak membawa SIM maka polisi itupun bertanya, “SIMnya mana ?”
“Ya pak, SIM saya hilang. Jadi saya nggak bawa SIM”, sambung saya.
“Terus gimana nih, soalnya ini pelanggaran nggak bawa SIM”, tanya polisi lagi.
Dengan penuh percaya diri dan sedikit cuek saya bilang, “ loh koq bapak tanya saya terus gimana. Kan petugasnya bapak. Ikutin aturannya saja pak. Tilang saja ”.
“Bener nih tilang saja. Kalau disidang biaya dendanya 50 ribuan rupiah”, sambung polisi.
“Gak papa Pak. Saya siap koq, kan saya melanggar. Ya harus bertanggungjawab”, jawabku lagi.
“Tapi sidangnya masih lama pak, tanggal 29 Agustus. Apa nggak kelamaan ?” tambah pak polisi.
Mendengar itu sayapun menjawab,” Ya nggak papa Pak, sudah resiko. Saya sabar koq”.
Tiba-tiba melintas polisi yang lainnya yang dipanggil NDAN (komandan, red) sama polisi itu. Dan terjadilah dialog singkat diantara keduanya.
Polisi : Ndan, gimana nih. Ini minta ditilang saja katanya.
Komandan : Minta tilang ? Ya sudah bikinin aja disurat yang itu.
Polisi : Tapi nulisnya dimana ndan. Itu kan bukan surat tilang ?
Komandan : Kamu pikir sendiri ya, saya juga lagi banyak motor nih.
Sang komandanpun segera berlalu dan polisi itupun mondar-mandir seperti orang kebingungan.
Dan polisi itupun menemui saya lagi.
Polisi : Jadi bener nih di tilang saja ?
Saya : Kan tadi sudah bilang pak, ditilang saja.
Polisi : Sebentar ya pak. Saya ketemu komandan saya lagi.
Entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi terlihat cukup serius. Berkali-kali sang polisi itu membuka bolak balik surat yang mirip dengan gepokan nota. Setelah itu polisi itupun kembali menemui saya.
“Pak Bambang, jadi bapak bener minta ditilang saja ?” tanya polisi itu lagi. “Kalau memang begitu, ya sudah. Bapak silakan jalan saja. Ini STNK dan KTP bapak saya kembalikan”, sambungnya lagi.
Dalam ekspresi kebingungan yang sengaja saya buat-buat, sayapun mengkonfirmasi, “bener nih saya tidak jadi di tilang”, yang dijawab oleh Pak Polisi itu dengan anggukan kepala dengan seuntai senyum tersungging dari bibirnya.
...............................................
Satu hal yang saya yakini bahwa, berkata apa adanya (orang bilang jujur) dengan penuh percaya diri dan siap dengan segala resikonya pasti akan Allah balas dengan balasan yang baik.
Pada kasus nyata di atas, bisa saja saya memilih untuk bernegosiasi dengan polisi soal harga perdamaian. Toh dia sudah sebut angka tarif denda apabila saya ditilang yang secara tidak langsung seolah membuka penawaran harga dengan patokan tertinggi segitu.
Tapi sudahlah, negeri ini sudah begitu penuh dengan praktik-praktik kompromi lapangan yang seolah menguntungkan kedua pihak tetapi yang sebenarnya terjadi adalah mengkristalnya budaya korupsi kolusi. Saya ingin tidak meneruskan culture building semacam itu. Barangkali saya pernah melakukan itu, tetapi sekarang saya memilih untuk tidak melakukannya lagi.
Berdasarkan fakta lapangan tentang modus operasi-operasi kendaraan bermotor yang banyak berujung pada kesepakatan damai, saya meyakini bahwa fokusnya bukan pada penertiban lalu lintar. Tapi ada fokus lain yang secara implisit terrekam yaitu kesepakatan harga damai. Dan demi melihat itu saya memilih untuk ditilang.
Saya memang salah karena tidak membawa SIM. Tapi saya yakin bahwa menilang tidak akan memberikan keuntungan apapun bagi sang oknum polisi. Kalau saya keukeuh untuk minta ditilang, sangat mungkin sekali oknum polisi itu akan membiarkan saya jalan. Karena fokusnya bukan pada penertiban, tetapi dicapainya kesepakatan harga damai. Begitulah keyakinan saya.
Dan benar saja, rasa percaya diri saya yang dengan gagah mengakui kesalahan dan meminta terus untuk ditilang agaknya membuat polisi itu menjadi salah tingkah dengan pertanyaan tidak cerdas yang diulang-ulang.
Seperti pepatah yang belakangan sering muncul di televisi sebagai tag line kampanye Rizal Malarangeng bahwa IF THERE IS A WILL, THERE IS A WAY. Bila ada kemauan disitu ada jalan. Bila kita sungguh-sungguh dengan pekerjaan kita, Allah akan tunjukkan jalannya.
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment