Friday, August 08, 2008

Believe In God (Part Two)

Seorang teman masih saja tidak bisa memahami ketika secara tiba-tiba saya mengundurkan diri dari jabatan strategis saya di salah satu anak perusahaan penerbitan terkemuka. Baginya apa yang saya lakukan tidak lebih dari sebuah tindakan bodoh dan susah untuk dicarikan argumen pembenarannya.


Baginya posisi mapan dan salary menawan lebih dari cukup untuk menjadikan saya mestinya bertahan dan meneruskan karir lapang yang masih panjang. Belum lagi ditunjang dengan kedekatan saya sama direktur. Lengkap sudah kondisi ideal yang diharapkan oleh para pekerja. Barangkali begitu pikirnya.


Setelah dicecar dengan banyak pertanyaan yang tak kunjung reda, saya hanya bisa mengatakan pandangan-pandangan saya.


Ada banyak hal yang menjadikan saya memutuskan memilih mundur ketika prestasi kerja saya justru sedang bagus.


Pertama, saya merasa sudah tidak ada tantangan lagi dalam bekerja. Tidak adanya tantangan baru memunculkan kondisi dimana saya tidak terpacu untuk menjadi lebih kreatif. Saya akan kehilangan sebagian hakikat kemanusiaan saya, menjadi lebih kreatif untuk menghasilkan kreasi-kreasi baru. Kemandegan kreatifitas bagi saya akan berujung pada kemandegan kehidupan itu sendiri. Dan saya tidak mau menghentikan kehidupan saya.


Kedua, sudah tidak ada lagi kecocokan dalam pola kepemimpinan antara saya dengan pimpinan. Sudah berbagai cara saya coba lakukan untuk menemukan titik temu, tetapi agaknya tidak juga kunjung muncul solusi. Justru kemudian melahirkan jurang konflik yang semakin lebar. Hubungan baik persaudaraan yang telah terbangun jauh sebelum saya duduk di posisi saya, justru menjadi runyam karena hubungan kerja yang ada. Dan saya memilih untuk mundur dari jabatan saya demi meneruskan hubungan baik persaudaraan. Dengan tidak adanya hubungan kerja, saya berharap tidak ada lagi crash.


Mendengar penjelasan itu, teman saya sekali lagi mengatakan. “Saya tetap tidak bisa memahami. Bagaimana dengan pekerjaan anda nantinya. Bukankah mencari kerja sekarang susah ?


Jawabku, “ Mencari pekerjaan sekarang memang susah, tetapi kalau mencari rizky Allah saya kira tidak susah. Allah maha kaya, kalau manusia mungkin malah punya hutang. Maka jangan minta kepada manusia, mintalah pada Allah yang maha kaya, maha memberi.”


Lanjutku, “ Allah sudah tetapkan jatah rizki untuk kita semua. Dan malaikat pembagi rizki dari Allah tidak akan pernah salah alamat membagi rizkiNya. Kalau jatah kita hari ini 3 juta misalkan, maka Allah akan turunkan persis segitu tanpa dikurangi.


Hari ini kita mendapatkan kucuran rizki dari kran tempat kerja kita yang sekarang. Apabila kran yang sekarang kita tutup, pasti akan Allah bukakan dari kran yang lainnya. Tugas kita hanya selalu membuka kran-kran yang lainnya hingga rizki Allah itu mengalir deras. Tugas kita hanya memastikan bahwa syarat terbukanya kran itu terpenuhi. Tugas kita hanya memastikan bahwa syarat turunnya rizky Allah itu terpenuhi. Tugas memastikan turunnya rizky bukanlah kewajiban kita. Itu adalah hak Allah untuk menentukan.


Terlalu mudah bagi Allah untuk membuka mata, telinga dan hati seseorang untuk menerima kompetensi dan proyeksi-proyeksi kita. Dan terlalu mudah bagi Allah untuk menggerakkan seluruh makhluknya di alam semesta raya ini untuk mendukung upaya-upaya kita membuka kran rizki. Dan kalau Allah sudah berkehendak, tidak ada satupun yang bisa menolaknya.”


Tiba-tiba teman saya menyela, “ tapi itu kan abstrak Pa Bambang. Kehendak Allah dan dukungan alam semesta itu kan hanya ada pada tataran keyakinan. Sedangkan upah, gaji dan penghasilan itu kan sesuatu yang lain. Dia nyata ...” katanya bersemangat.


“ Tapi keyakinan saya tidak hanya ada di kepala saya. Tapi sudah sampai di hati dan setiap ruas tulang-tulang tubuh saya. Saya bahkan sudah bisa merasakan terbukanya kran-kran rizky itu sekarang, jauh sebelum Allah benar-benar membukakan kran itu untuk saya. Dan Allah akan selalu bersama dengan keyakinan hambanya yang kuat.


Dan hari ini - 3 jam setelah saya maju untuk mengundurkan diri ke bos – baru saya saya mendapatkan telepon dari Telkomsel untuk penjajagan program pelatihan. Baru saja saya juga diminta konfirmasi dari teman-teman penggiat HPA untuk sesi pelatihan di beberapa kota hingga akhir bulan.

Dan yang lebih dahsyat, saya baru saja selesai ditelepon oleh teman lama yang hampir 10 tahun tidak ada kontak. Dia menanyakan kondisi saya. Saya ceritakan apa adanya. Dan ajaibnya, dia mengajak bertemu karena dia mendapatkan order dari sebuah perusahaan pertambangan untuk serial pelatihan bersambung yang diperuntukkan bagi karyawannya. Ada satu sesi yang dia belum menemukan orang yang pas. Dan menurutnya, saya adalah orang yang pas yang dia cari “, jawabku panjang lebar yang disambut anggukan kepala.

Wallahu a’lam


No comments:

Post a Comment