Sebagai sebuah seminar, sebenarnya acara semacam itu tidaklah istimewa. Entah sudah berapa banyak seminar semacam itu diadakan di sekitar Solo, terutama di lingkungan kampus. Mulai dari persiapan pranikah, sewaktu nikah dan paska nikah. Yang menjadikan seminar kali ini istimewa barangkali adalah karena seminar itu diadakan sebagai tindak lanjut dari hasil survey tentang kehidupan rumah tangga para da’i. Dan peserta seminar kali ini adalah juga audien yang disurvey oleh sebuah Yayasan Sosial, dan saya bersama istri adalah satu dari banyak keluarga yang disurvei. Rencananya hasil survey itu akan dibedah di forum seminar tersebut.
Diantara yang bikin heboh forum seminar tersebut adalah hasil yang menyebutkan bahwa 30 % audien menyatakan kehidupan rumah tangganya tidak atau belum bahagia. Sekali lagi bahwa 30% da’I yang disurvei menyatakan bahwa kehidupan rumah tangganya tidak atau kurang bahagia. Bagi masyarakat umum ini wajar adanya. Menjadi heboh karena audiennya adalah para da’I yang nota bene adalah penyeru kebaikan. Kalau para penyerunya mengalami ketidakbahagiaan dalam kehidupan rumahtangganya, bagaimana dengan masyarakat yang diseru.
Seorang teman yang setelah seminar selesai kemudian mengakui bahwa dia adalah termasuk 1 dari keluarga yang tidak atau kurang bahagia mengatakan bahwa istrinya tidak seperti harapan awal yang dibayangkan ketika memutuskan untuk menikah. Dimatanya, istrinya banyak menyimpan ketidaksempurnaan yang menurutnya “parah”. Masih menurut teman tersebut, istrinya banyak membantah pandangan dan permintaannya. Dan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga – katanya – teman tadi memilih diam. Menurutnya lagi, istrinya juga kurang perhatian pada tema perbincangan atau diskusi yang dilontarkannya. Istrinya lebih asyik dengan urusannya sendiri, lanjutnya. Dan yang parahnya lagi – teman tadi sangat bersemangat menyebutkannya – bacaan Al Qur’annya parah. Seperti hendak mencari pembenaran terhadap ledakan perasannya, teman sayapun meminta respon saya.
Jujur, awalnya saya kaget. Bagaimana tidak, teman tadi yang tidak lain adalah mantan pentolan kegiatan kamahasiswaan Islam di UNS belum lama menikah. Pada acara walimatul ‘ursy pernikahannya, wajah cerianyapun selalu mengembang menyambut kehadiran tamu. Tapia pa mau dikata, dia mengatakan semua dengan penuh antusias.
Melihat teman tadi penasaran menunggu responku, sayapun mulai mengurai jawaban. Mas Hadi – tentu bukan nama yang sebenarnya – cerita begini ke saya maksudnya apa ya. Apa mau cari dukungan supaya lebih yakin bahwa istri njenengan – kamu, dalam bahasa jawa yang halus – itu memang nggak beres dan rumah tangga njenengan tambah runyam. Atau njenengan kepingin memperbaiki kehidupan rumah tangga njenengan dan hidup lebih bahagia. Dengan bangga Mas Hadipun menjawab, ya jelas supaya saya dan istri lebih bahagia. Apa kata teman-teman kalau kelaurgaku yang baru beberapa bulan jadi lebih runyam.
Seketika saya ambil ballpoint dari saku. Saya perlihatkan pada Mas Hadi dengan sudut pandang lurus dimana satu ujungnya persis di depan mata Mas Hadi dan ujung yang lain berada di titik jauh pandangannya membentuk sudut 180 derajat. Saya tanyakan kepadanya, “ balpoin ini kelihatan seperti apa Mas ?” Dan dijawabnya dengan mantap, “ titik”. Lalu saya putar 90 derajat dan saya tanyakan lagi, “ sekarang kelihatan seperti apa Mas ?” Masih dengan mantap dijawabnya, “garis”. Berulang kali saya putar bolak balik 90 derajat sehingga balpoin itu berganti-ganti antara titik dan garis.
Sambil berjalan saya katakan, bendanya satu yaitu balpoin. Yang membedakannya antara titik dan garis hanyalah sudut pandangnya. Orang bisa berantem demi mempertahankan keyakinannya bahwa itu titik atau garis, padahal bendanya satu yaitu balpoin. Begitu kita mau memutar sudut pandangnya 90 derajat, maka keyakinan kita akan titik berubah menjadi garis dan sebaliknya. Dan kita tidak perlu memupuk energy permusuhan kita.
Seperti kita melihat peta pulau Jawa misalnya. Peta itu bukanlah kenyataan teritoial yang sebenarnya. Gambaran jalan dip eta berbeda dengan kenyataan jalan aslinya. Penggambaran gunung pada peta juga berbeda dengan gunung pada kenyataannya. Jalan dan gunung yang ada di peta hanyalah penafsiran si pembuat peta terhadap jalan dan gunung yang sebenarnya. Penafsiran dan penggambaran yang dilandasi oleh informasi tentang jalan dan gunung tersebut yang diterima oleh si pembuat peta. Ketika pembuat peta melakukan perubahan gambar pada petanya, itu tidak menjadikan serta merta juga terjadi perubahan pada realita teritorialnya. Atau apabila terjadi perubahan kondisi alam karena sebuah bencana semacam gempa bumi atau longsor, itu juga tidak serta merta merubah gambar alam yang ada pada peta. Jadi peta pulau Jawa hanyalah penafsiran si pembuat peta terhadap realita territorial pulau Jawa yang sebenarnya. Dan bukanlah kenyataan yang sebenarnya pada pulau Jawa.
Seperti menahan kebingungan mendengarkan penjelasan saya tentang peta, sayapun langsung menukik ke pokok persoalan. Sayapun melanjutkan bahwa, sering “kenyataan” yang kita yakini kebenarannya sebenarnya terkadang hanyalah penafsiran kita terhadap “kenyataan” yang sebenarnya terjadi dan bukan kenyataan yang sebenarnya. Penafsiran itu bisa benar, tetapi sering juga keliru. Sehingga kita hendaknya tidak menjadikan penafsiran kita sebagai satu-satunya kebenaran yang kita “yakini” sebelum kita mencoba menengok “kebenaran” lain yang lahir dari perbedaan sudut pandang.
Dalam kasus Mas Hadi, kenyataan tentang istri yang njenengan “yakini” sebagai banyak menyimpan ketidaksempurnaan, bisa jadi itu hanyalah “penafsiran” njenengan terhadap realita yang sebenarnya tentang istri njenengan. Penafsiran njenengan bisa benar, tetapi sebagian besarnya sering salah. Penafsiran njenengan lahir karena informasi-informasi sepihak yang masuk ke dalam pikiran dan akhirnya njenengan yakini sebagai kenyataan yang sebenarnya. Njenengan sangat meyakini itu. Njenengan melihat balpoin dari satu sudut pandang saja.
Keyakinan njenengan akan kenyataan yang sebenarnya tentang istri njenengan akan berubah ketika njenengan mau mencoba membuat penafsiran baru akan realita yang sebenarnya tentang istri. Njenengan hanya butuh untuk mengumpulkan informasi yang kemudian diyakini oleh istri njenengan sebagai kebenaran. Informasi ini pada akhirnya akan melahirkan keyakinan baru. Dan keyakinan baru ini akan memunculkan tafsiran baru. Tafsiran baru terhadap keyakinan terhadap realita yang baru tentu akan melahirkan respon yang sama sekali baru. Balpoin yang diputar dengan sudut 90 derajat akan merubah titik menjadi garis. Dan garis sama sekali berbeda dengan titik.
Jadi kita hanya butuh untuk mencoba membuat sudut pandang yang berbeda tentang pasangan hidup kita, lebih dari sekedar sudut pandang kita sendiri yang selama ini kita yakini kebenarannya. Kita hanya butuh untuk merubah tafsiran kita terhadap realita yang kita yakini tentang istri kita. Kita hanya perlu untuk merubah peta kita tentang pasangan hidup kita. Dan keyakinan baru kita terhadap realita yang sesungguhnya terhadap istri kita akan merubah segalanya.
Seiring dengan seuntai senyum yang mulai merekah dari wajah Mas Hadi, diapun berbegas mengucapkan terima kasih dan berbegas pulang. Semoga Mas Hadi telah menemukan peta barunya tentang istri yang dihari pernikahannya sangat dibangga-banggakannya. Semoga …..
Wallahu a’lam.