Tahun 1990, ketika saya berada di kelas 3 Biologi 2 SMA Negeri 1 Tegal. Disekolah kami waktu itu ada satu guru yang paling kesohor bagi para siswa dan alumni. Beliau adalah Bapak Muktamad, guru matematika untuk siswa kelas 3 kelompok IPA (Fisika dan Biologi).
Pak Muktamad sangat kesohor karena keunikan yang dimilikinya. Mulai dari predikat pemegang sabuk DAN IV karate menjadikannya disegani siswa dan guru sejawatnya, keunikan cara mengajarnya sampai pada cap “killer” yang melekat padanya karena sifat angker yang melekat padanya. Jangan pernah melakukan kesalahan yang berkaitan dengannya, kalau tidak ingin mendapatkan layangan tamparan atau pukulan bogem mendah tangan kekarnya. Banyak siswa yang merasakan keangkerannya dan trauma dibuatnya.
Diantara cara mengajarnya yang unik adalah kebiasaannya memberikan pekerjaan rumah (PR) yang super banyak yang harus diselesaikan dalam semalam saja. Bayangkan kalau dalam satu malam, seorang siswa harus menyelesaikan soal-soal matematika SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dari tahun 1980 – 1989 misalnya. Dan apabila ada yang tidak menyelesaikan tugas, maka tempelengan atau bahkan pukulan bogem mentahnya siap menjadi oleh-oleh.
Pada suatu hari, PR serupa itupun kami (murid sekelas) dapatkan. Tapi ditambah dengan perintah, dikumpulkan harus bareng-bareng oleh ketua kelas dan tidak boleh sendiri-sendiri. Tentu saja sang ketua kelas (saya agak lupa namanya, kalau nggak salah Hermawan, atau Kurniawan) menjadi panik karenanya. Karena apabila ada yang telat dan ketua kelas yang harus mengumpulkan, maka bisa jadi dia yang menjadi sasaran empuk pukulan sang guru.
Dan pada keesokan harinya, gambaran seperti diatas benar-benar terjadi. Beberapa teman terlambat mengumpulkan tepat pada waktunya sebagaimana yang sudah diperintahkan oleh Pak Muktamad. Tapi karena perintahnya harus dikumpulkan bareng-bareng, maka sang ketua kelaspun menunggu semua selesai mengerjakan.
Entah karena panik atau rasa takut yang hebat, pada saat semua siswa sudah selesai mengerjakan PR, sang ketua kelas tidak berani mengantarkan PR itu ke meja Pak Muktamad. Semua tidak ada yang berani mengantarkan, sambil berusaha saling melempar tanggungjawab.
Dalam kondisi demikian, tiba-tiba mengalir darah keberanian dalam diri saya. Dan sayapun memberanikan diri membawa tumpukan buku PR itu ke meja Pak Muktamad sendirian. Dalam perjalanan dari kelas menuju meja Pak Muktamad di ruang guru, jantung saya serasa deg-degan membayangkan apa yang akan terjadi. Tentu saja sembari berdoa supaya tidak terjadi hal yang menakutkan.
Begitu saya sampai di depan mejanya, Pak Muktamad dengan muka merah pertanda kemarahannya menggebrak meja sambil membentak,” kenapa kamu yang ke sini mengantarkan PR itu. Kemana ketua kelas kamu !!”. Sayapun menjawab, “ ada di kelas Pak”. “ Ya, tapi kenapa kamu yang nganter ke sini dan bukan dia. Kan kemarin saya suruh dia yang nganter, bukan kamu !!! “ tambahnya lagi. “ Tadi teman-teman di kelas juga pada ribut, siapa yang harus nganter ke meja bapak. Tapi karena sepertinya pada takut bakal kena marah oleh bapak, maka nggak ada yang berani nganter. Daripada keadaannya lebih buruk, ya akhirnya saya beranikan nganter ke sini. Kalaupun bapak marah, saya insya Allah siap bapak marahi”, jawabku sambil gemeteran menahan rasa takut.
Tapi ternyata apa yang saya bayangkan sebelumnya tentang hal yang menakutkan tidak terjadi. Pak Muktamad malah menyuruh saya kembali ke kelas dan mengatakan, “ Ya sudah Bambang, kamu kembali ke kelas. Dan bilang sama teman-teman kamu kalau sebentar lagi saya ke kelas”.
Sepuluh menit berikutnya, pak Muktamadpun masuk kelas. Seperti biasanya, setiap Pak Muktamad masuk kelas maka suasana kelas tiba-tiba menjadi sunyi. Tiba-tiba .....
“ Mana ketua kelas kalian “, tanya Pak Muktamad. Dan sang ketua kelaspun mengacungkan tangan sambil menahan raut muka ketakutan. “Sini kamu maju ke depan. Dan semua siswa laki-laki juga maju ke depan”, perintahnya. Dan kami semuapun maju ke depan. “ Ehh kamu Bambang nggak usah maju. Kamu duduk saja”, tambahnya, menjadikan kami semua semakin bingung.
Tiba-tiba ... Plak plek. Tamparan ringan tangan Pak Muktamad mendarat dipipi semua siswa laki-laki yang maju kedepan. Beliaupun menceramahi kami semua.
“Tahu nggak kenapa kamu semua saya kasih tamparan dan Bambang saya suruh duduk. Karena kamu semua banci. Tidak berani bertanggungjawab. Kalian malah seperti mengorbankan salah satau teman kamu yaitu Bambang dengan membiarkan dia mengantarkan sendirian. Mestinya kalau kalian takut sendirian karena telat, maka kalian harus nganter bareng-bareng. Kalian ingin kan kalau saya marah, biar Bambang saja yang kena kemarahan saya. Tapi nggak, Bambang saya bebaskan dan kalian semua saya hukum. Tidak ada tempat yang baik untuk anak-anak pengecut yang tidak bertanggungjawab”.
Dan pada setiap episode kehidupan kita, Allah akan senantiasa memberikan balasan yang baik bagi siapa saja yang berkontribusi pada kemashlahatan ummat. Insya Allah.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.